Selasa, 23 Oktober 2018

PRO KONTRA PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PEMILU SERENTAK 2019


Oleh : Sirajuddin Raju, S.H.
*Tulisan ini dibuat ketika masih mahasiswa

BAB I
PENDAHULUAN

       A.    Latar Belakang Masalah
UUD tahun 1945[1] Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, ini menjelaskan bahwa negara Indonesia yang menempatkan rakyatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara adalah merupakan refleksi dari hakikat demokrasi. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,  bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara[2].
Wujud implementasi kedaulatan rakyat atau demokrasi dapat kita lihat dalam pemilihan umum. Seperti yang dikemukakan oleh Sri Soemantri bahwa, pemilihan umum yang bebas merupakan syarat mutlak bagi berlakunya demokrasi[3]. Pemilihan umum yang dimaksudkan adalah untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[4].
Kekuasaan pemerintahan negara yang dipegang oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai kekuasaan eksekutif memiliki peran penting dalam mewujudkan cita-cita negara Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat melalui partai politik atau gabungan partai politik dalam proses pemilihan umum haruslah dibuat mekanisme yang tepat.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah regulasi atau sistem yang seharusnya efektif untuk mengatur proses penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, ambang batas atau lazim dikenal dengan istilah Presidential Threshold pada pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa :
“Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden[5].”

Pasal tersebut menimbulkan polemik atau pro-kontra di tengah masyarakat ditambah dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013 mengenai pemilihan umum (pemilu legislatif dengan presiden dan wakil presiden) dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 dan seterusnya[6].
Berangkat dari hal tersebut maka kami selaku penyusun artikel ini ingin manganalisis lebih dalam dimanakah letak perbedaan sudut pandang serta alasan-alasan baik dari prespektif pro maupun kontra, dan apakah memang regulasi atau pengaturan tentang presidential thershold masih sesuai dengan UUD 1945 sehingga perlu untuk dipakai dalam pemilu serentak pada tahun 2019, ataukah sebaliknya bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak dapat diterapkan pada pemilu serentak tahun 2019.

     B.     Rumusan Masalah
     Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah analisis dari prespektif PRO terhadap Presidential Thershold pada Pemilu Serentak 2019?
  2. Bagaimanakah analisis dari prespektif KONTRA terhadap Presidential Thershold pada Pemilu Serentak 2019?

BAB II
PEMBAHASAN

    A.    Analisis perspektif Pro terhadap Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019
Untuk pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatif dan empiris-sosiologis kenapa PRO terhadap topik ini:
1.        Kajian Teoritis-Filosofis
Secara teoritis, seperti yang dikatakan oleh pakar politik Giovanni Sartorum Arrendt Lijphart, dan Scott Mainwaring, menganjurkan bahwa dalam sistem presidensil agar tercipta pemerintahan yang kongruen (eksekutif dan legislatif) maka salah satu jalannya adalah dengan pemilu serentak.
Ambang batas atau dikenal dengan presidential threshold dalam pemilu serentak pada hakikatnya bukan untuk membatasi hak konstitusional dari setiap warga negara yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019. Namun, syarat pengusulan tersebut semata-mata untuk menyederhanakan sistem multi partai yang seharusnya kompatibel dengan sistem pemilu. Kedua sistem tersebut harus saling menopang sebagai satu kesatuan sistem, Sehingga tercapai harmonisasi antara maksud dan tujuannya untuk menyokong efektifitas sistem pemerintahan presidensial.[7]
Ambang batas sangat efektif diterapkan pada pemilu serentak tahun 2019. Karena, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden memungkinkan untuk dilaksanakan dalam satu putaran sehingga dapat menghemat anggaran pada pemilihan umum nanti.
Oleh karena itu ditinjau dari kajian teoritis-filosofis diatas maka sangat penting untuk mempertahankan presidential threshold dalam pemilihan serentak 2019.

2.        Kajian yuridis-normatif
Secara yuridis normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[8], terkait tentang topik pembahasan kita mengenai Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019 memiliki keterkaitan secara konstitusional sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 pada pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) menyatakan :
(2)   Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(3)   Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik
Berdasarkan pemahaman konstitusional di atas pada pasal 22E ayat (2) dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, maka pemilu serentak harus dilaksanakan pada tahun 2019. Dalam hal pengusulan Presiden dan Wakil Presiden  ditegaskan pada pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi :
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”
Lebih lanjut pada pasal 9 dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang menyebutkan :
Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Berdasarkan pemahaman dari penjabaran pasal-pasal di atas, ambang batas atau presidential threshold pada dasarnya tidak membatasi hak konstitusional setiap warga negara untuk diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, karena pada pasal 6A ayat (2) UUD 1945 di atas memberikan ruang kepada setiap partai politik untuk dapat mengusulkan atau bergabung dengan partai politik peserta pemilihan umum dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga, Presidential threshold dalam pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 konstitusional.
Kekhawatiran terhadap dasar penentuan ambang batas Presiden pada pemilu yang akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 dapat ditangani dengan mengambil acuan pada hasil pemilu legislatif tahun 2014. Walaupun tidak dilaksanakan serentak, pemilu tahun 2014 tetaplah pemilihan umum. Oleh karena itu, penggunaan ambang batas dalam pemilu serentak tahun 2019 tetap dapat dilaksanakan. Begitu juga pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024, dapat mengambil acuan pada hasil pemilihan legislatif tahun 2019.
3.      Empiris-sosiologis
Secara empiris-sosiologis kita melihat fakta dan realitas yang terjadi pada  hasil perolehan suara pemilu legislatif pada tahun 2014[9] yaitu:
1)      PartaiNasdem 8.402.812 (6,72 persen)
2)      PartaiKebangkitanBangsa 11.298.957 (9,04 persen)
3)      PartaiKeadilan Sejahtera 8.480.204 (6,79 persen)
4)      PartaiDemokrasi Indonesia Perjuangan 23.681.471 (18,95 persen)
5)      Partai Golkar 18.432.312 (14,75 persen)
6)      PartaiGerindra 14.760.371 (11,81 persen)
7)      PartaiDemokrat 12.728.913 (10,19 persen)
8)      PartaiAmanatNasional 9.481.621 (7,59 persen)
9)      PartaiPersatuan Pembangunan 8.157.488 (6,53 persen)
10)  PartaiHanura 6.579.498 (5,26 persen)
11)  PartaiBulanBintang 1.825.750 (1,46 persen)
12)  PartaiKeadilandanPersatuan Indonesia 1.143.094 (0,91 persen)
Apabila kita melihat data di atas, maka semua partai politik yang  tidak memenuhi ambang batas tidak dibatasi hak konstitusionalnya untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden dengan cara bergabung atau berkoalisi. Contohnya pada pemilu 2014 yang masih dapat mengusulkan Presiden dan Wakil Presiden dengan komposisi sebagai berikut:
1)        Prabowo Subianto dan M. Hatta Rajasa (partai pengusung: partai gerindra, partai amanat nasional, partai keadilan sejahtera, partai golongan karya, partai persatuan pembangunan, partai bulan bintang).
2)        Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla (partai pengusung: PDI perjuangan, nasdem, partai kebangkitan bangsa, Hanura).

Oleh karena itu, presidential threshold dalam pemilu serentak tahun 2019 tetap harus dilaksanakan sebagaimana perintah undang-undang.

      B.     Analisis perspektif Kontra terhadap Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019
Untuk pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatis dan empiris-sosiologis kenapa kontra terhadap topik ini:
1.        Kajian teoritis –filosofis
Secara teoritis, menurut Harun Alrasid, kedudukan lembaga Presiden merupakan kedudukan yang paling sentral dalam sebuah sistem pemerintahan republik.[10] Mengingat Indonesia adalah negara yang menempatkan rakyatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, maka untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum berdasarkan kedaulatan rakyat harus dilaksaakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarrkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Hadirnya Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 salah satunya bertujuan untuk mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang demokratis, seharusnya tidak boleh bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Pembatasan terhadap hak-hak warga negara untuk dapat dipilih dan memilih seperti yang terdapat pada pasal 9 Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden jelas bertentangan dengan konstitusi.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa penerapan ambang batas bagi setiap partai politik yang ingin mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden jelas dibatasi oleh pasal tersebut. Rakyat yang memiliki kebebasan memilih sesuai dengan kehendak atau keinginan mereka masing-masing, dipangkas haknya, karena tidak semua partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan calonnya.
Oleh karena itu, Agar demokrasi dapat berjalan sesuai apa yang tercermin dari  rasa keadilan masyarakat, dan agar hak-hak warga negara untuk memperoleh kedudukan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi melalui proses politik khususnya pemilu dapat terjamin, maka ambang batas atau presidential threshold yang tercantum pada pasal 9 Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus dihapuskan
.
2.      Kajian yuridis-normatif
Secara yuridis-normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[11], terkait tentang topik pembahasan kita mengenai Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019 memiliki keterkaitan secara konstitusional khususnya dalam hal pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum, seperti yang terdapat pada pasal 22E ayat (2) yang berbunyi : “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 Lebih lanjut dalam pasal 6A ayat (1) dan (2) yang menegaskan :
(1)   Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
(2)   Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum
Penafsiran gramatikal dan tekstual dari pasal  6A ayat (1) dan (2) di atas menjelaskan, bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagai hukum tertinggi di negeri ini (the supreme law of the the land), ketentuan UUD 1945 di atas jelas memberikan hak yang sama dan setara kepada seluruh partai politik untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Lebih lanjut dalam pasal 23D ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan : “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”
Apabila kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terlebih khusus yang terdapat pada pasal 9, menyatakan :
“Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden[12].”
Ketentuan di atas dengan terang memberikan pengecualian dan batasan terhadap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut jelas bertentangan konstitusi sebagaimana disebutkan di sebelumnya, dan juga dengan pasal 23C ayat (2), yang berbunyi : “Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”
Dengan penggunaan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, hak partisipasi dari rakyat untuk memilih calon presiden dan wakil presiden tentu tidak sepenuhnya tersalurkan, karena tidak semua partai politik bisa mengusung pasangan calonnya. Hal ini juga membatasi hak warga negara yang tergabung dalam partai politik untuk dapat dipilih dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Disamping itu, dengan menggunakan acuan presentase 20% kursi di parlemen dan 25% hasil pemilu legislatif, pada  pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 tidak dapat di jadikan tolak ukur. Karena pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diadakan bersamaan.
Oleh karena itu, penerapan ambang batas atau presidential threshold dalam pemilu serentak 2019 tidak dapat diberlakukan. 
3.        Kajian Empiris-Sosiologis
Secara empiris-sosiologis kita melihat fakta dan realitas yang terjadi pada  hasil perolehan suara pemilu legislatif pada tahun 2014[13] yaitu:
1)      Partai Nasdem 8.402.812 (6,72 persen)
2)      Partai Kebangkitan Bangsa 11.298.957 (9,04 persen)
3)      Partai Keadilan Sejahtera 8.480.204 (6,79 persen)
4)      Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 23.681.471 (18,95 persen)
5)      Partai Golkar 18.432.312 (14,75 persen)
6)      Partai Gerindra 14.760.371 (11,81 persen)
7)      Partai Demokrat 12.728.913 (10,19 persen)
8)      Partai AmanatNasional 9.481.621 (7,59 persen)
9)      Partai Persatuan Pembangunan 8.157.488 (6,53 persen)
10)  Partai Hanura 6.579.498 (5,26 persen)
11)  Partai BulanBintang 1.825.750 (1,46 persen)
12)  Partai KeadilandanPersatuan Indonesia 1.143.094 (0,91 persen)
Dari hasil perolehan suara di atas, menghasilkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut :
1.      Prabowo Subianto dan M. Hatta Rajasa (partai pengusung: partai gerindra, partai amanat nasional, partai keadilan sejahtera, partai golongan karya, partai persatuan pembangunan, partai bulan bintang).
2.      Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla (partai pengusung: PDI perjuangan, nasdem, partai kebangkitan bangsa, Hanura).
Dari data di atas, seharusnya setiap partai politik berhak mengusulkan satu pasang calon Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan amanat konstitusi. Namun, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Jika menerapkan ambang batas dalam pemilu serentak nanti dengan mengambil acuan hasil pemilu legislatif tahun 2014, sangatlah tidak logis. Sebab, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan legislatif dan juga kondisi politik pada tahun 2014 tidak sama dengan tahun 2019.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan analisis dari persektif pro maupun kontra terhadap topik Presidential Threshold dalam Pemilihan Serentak 2019, maka kami menarik kesimpulan bahwa, polemik pro maupun kontra terkait dengan topik ini ternyata hanya terletak pada sudut pandang yang berbeda dalam menginterpretasikan pendekatan yang dipakai baik melalui kajian teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis. Namun pada hakikatnya, maksud dan tujuan dari kedua pandangan di atas adalah sama yakni agar tidak ada hak-hak konstitusional warga negara yang dilanggar Sehingga, hak partisipatif setiap warga negara untuk dapat memilih ataupun dipilih dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis dapat tercipta. Oleh karena itu, untuk bisa mengakomodir kedua pandangan tersebut, kami selaku penyusun artikel ini memberikan saran atau rekomendasi sebagai berikut :
1.         Revisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Undang-undang ini harus memuat aturan bagaimana mekanisme pemilu serentak tahun 2019 dan seterusnya. Agar, tidak ada warga negara ataupun partai politik yang dilanggar hak-hak konstitusionalnya.
2.      Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik
Merevisi undang-undang ini adalah untuk lebih memperketat verifikasi pembentukan partai politik agar dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa melanggar hak-hak warga negara.
3.         Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu
Dalam undang-undang ini harus ada harmonisasi pengaturan yang jelas terhadap Undang-undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan Undang-undang Partai Politik yang telah dilakukan revisi.



DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983)
Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi, Gramata Publishing, 2014)
Asshiddiqie Jimly, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi,(Jakarta: Sinar Grafika,2011)
S.H, Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif.(Jakarta:Djambatan,2001).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta:Kepaniteraan dan Sekertariat Jenderal Mahakamah Konstitusi RI, 2014)
Artikel Ilmiah/Internet :
            Isra, Saldi, Tirani Ambang Batas Presiden, Kementrian Hukum Dan HAM RI (Pusat Pembinaan Hukum Nasional, (Pusat Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hokum Nasional)
Agus Riwanto, Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu Disharmoni, disampaikan setelah menjalani sidang senat terbuka ujian doctor di gedung rektoran http://www.UNS.ac.id, pada pukul 23.00, Rabu (10/10/2012)
Undang-Undang :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
            Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
Putusan KPU nomor 411/KPTS/KPU/tahun 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam pemilu tahun 2014


[1] UUD 1945 adalah konstitusi negara indonesia yang merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara di indonesia.
[2] Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983. hlm. 328
[3] Lihat pendapat Sri Soemantri Martosoewignjo dalam bukunya, Sodikin, HUKUM PEMILU: Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, Bekasi, Gramata Publishing, 2014, hlm. 10
[4] Lihat lebih lengkap UUD 1945 pasal 22E ayat (3)
[5] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
[6]Sodikin, Op.cit, hlm. 170.  
[7] Agus Riwanto, Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu Disharmoni, disampaikan setelah menjalani sidang senat terbuka ujian doctor di gedung rektoran UNS, pada Rabu (10/10/2012)
[8] Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta:Djambatan, 2001). hlm.23
[9]Lihat keputusan KPU nomor 411/KPTS/KPU/tahun 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam pemilu tahun 2014.
[10] Sodikin, Op.cit, hlm. 143
[11]Waluyadi,Op.cit, hlm.23
[12] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
[13]Lihat keputusan KPU nomor 411/KPTS/KPU/tahun 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam pemilu tahun 2014.