Oleh : Sirajuddin Raju, S.H.
* Tulisan ini dibuat ketika mahasiswa
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam UUD 1945[1]
pasal 1 ayat (2) menyatakan: kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang dasar, disini jelas kita melihat bahwa indonesia adalah
salah satu negara yang menganut paham kedaulatan rakyat atau biasa disebut
dengan demokrasi. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, mengemukakan bahwa
dalam paham kedaulatan rakyat (democracy)
, rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara[2].
Karena memang pada hakikatnya demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.
Pemilihan
Umum yang merupakan pemilihan langsung sebagai wujud implementasi dari kedaulatan
rakyat (democracy). Di Indonesia
pemilihan umum ini di selenggarakan untuk memilih eksekutif dan legislatif baik pusat maupun
daerah yang diselenggarakan oleh KPU[3].
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa tujuan penyelenggraan
pemilihan umum itu ada 4, yaitu:
a. Untuk
memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan
damai;
b. Untuk
memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan
rakyat dilembaga perwakilan;
c. Untuk
melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
d. Untuk
melakasanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Namun melihat realitas yang terjadi
dalam proses pelaksanaan pemilihan umum masih Permasalahan yang nantinya akan
mempengaruhi rekapitulasi hasil penghitungan suara. bahkan
kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat dalam hasil perhitungan suara antara
peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu ataupun karena faktor human error.[4] Jika
hal tersebut terjadi dan menyebabkan kerugian bagi peserta pemilihan umum maka
dapat menempu upaya hukum dengan mengajukan permohonan PHPU ke Mahkamah
Konstitusi. Namun sebenarnya untuk pilkada langsung itu sudah bukan lagi
kewenangan MK[5] akan
tetapi berdasarkan UU pilkada terbaru[6]
kembali mengamanatkan MK menangani sengketa Pilkada.
Demi menegakkan hukum khususnya dibagian pemilihan
umum, maka muncullah wacana akan dibentuknya pengadilan khusus pemilu yang
nantinya akan fokus menangani sengketa-sengketa pemilu. Namun hal tersebut
muncul reaksi pro kontra baik antar pakar maupun masyarakat pada umumnya.
Berangkat dari hal tersebut maka
kami selaku penyusun artikel ini ingin
menganalisis dan mengkaji lebih dalam dimanakah letak perbedaan sudut
pandang serta alasan-alasannya baik dari persektif pro maupun kontra. dan
apakah memang pengadilan khusus pemilu sangat penting untuk dibentuk ataukah
bahkan tidak perlu dibentuk serta
bagaimanakah hubungan konstitusionalitasnya dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara indonesia.
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan
latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
analisis dari perspektif PRO terhadap pengadilan khusus pemilu.?
2. Bagaimanakah
analisis dari perspektif KONTRA terhadap pengadilan khusus pemilu.?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Analisis
Dari Perspektif PRO Terhadap Pengadilan khusus Pemilu
Untuk
pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatif
dan empiris kenapa PRO terhadap topik ini:
1.
Kajian
teoritis –filosofis.
Secara
teoritis Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, mengemukakan bahwa dalam paham
kedaulatan rakyat (democracy) ,
rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara[7].
Namun dengan melihat realitas dengan luas wilayah yang begitu luas di
Indonesia, kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni. Karena
kompleksitas keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan
dengan melalui sistem perwakilan (repsentation)
atau demokrasi tidak langsung ( Inderect
demokcracy).[8]
Di dalam praktek, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil
rakyat yang duduk dilegislatif maupun eksekutif dipusat dan daerah, yang
dipilih oleh rakyat sendiri melalui proses pemilihan umum.
Hal
tersebut sesuai dengan pancasila yang merupakan sumber hukum dalam arti secara
materil yang tidak saja menjiwai, tetapi harus dilaksanakan dan tercermin oleh
dan dalam setiap peraturan hukum di
indonesia[9].
secara filosofi dapat kita lihat dalam Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengandung
ciri alam pemikiran demokrasi di Indonesia[10].
Untuk
mengawal sistem kedaultan rakyat (democracy) sesuai dengan nilai-nilai
pancasila maka dibutuhkan kedaulatan hukum (Nomocracy) akan terjadi
keseimbangan (balances). Dengan dibentuknya Pengadilan khusus pemilu maka ini
akan fokus menangani perselisihan hasil pemilihan lansung khususnya mengenai
Pilkada, karena kita tahu bersama bahwa pilpres dan pileg masuk direzim
pemilihan umum yang upaya hukumnya melaui Mahkamah Konstitusi, sedangkan pilkada
masuk direzim pemda. Oleh karena itu pembentukan pengadilan khusus pemilu
adalah solusi yang tepat untuk menjawab perselisihan hasil pilkada langsung.
2. Kajian Yuridis-Normatif
Secara
yuridis normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[11],
terkait tentang topik pembahasan kita mengenai pengadilan khusus pemilu memiliki
keterkaitan secara konstitusional khususnya tentang pemilihan umum dan pengakan
hukumnya sebegaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 pada pasal 22E ayat (2)
yang menyatakan:
Pemilihan
umum diselenggrakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan
perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden dan dewan perwakilan rakyat
daerah.
Dan
dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenagnannya diberiakan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Secara
konstitusional upaya hukum untuk pemilu jelas adalah Mahkamah Konstitusi,
pemilu yang dimaksudkan adalah sesuai pasal 22E ayat (2). Namun untuk pilkada
sangat tepat apabila upaya hukumnya diberikan kepada peradilan khusus pemilu
karena juga memiliki dasar hukum yang kuat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Walikota yang baru disetujui menjadi UU oleh DPR,
mengamanatkan MK menangani sengketa Pilkada pada Pasal 157 ayat (1) ,
(2), (3) dan (4) menyatakan:
1) Perkara perselisihan pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan
peradilan khusus.
2) Badan peradilan khusus sebagaimana ayat (1) dibentuk sebelum
pelaksanaan pemilihan serentak nasional.
3) Perkara
perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili
oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
4) Peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil perhitungan perolehan suara oleh KPU provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena
itu peradilan khusus pemilu/badan peradilan khusus jelas akan dibentuk karena
secara hukum sudah ada gambaran yang jelas akan pembentukan peradilan tersebut.
Dengan luas wilayah indonesia yang begitu luas yang terdiri dari sekitar 34
provinsi, 98 kota dan 410 kabupaten dengan total 542.[12]
Maka sudah layaknyalah pembentukan peradilan khusus tersebut dipercepat dan
kita kawal bersama pembentukannya. Karena lebih cepat maka akan membantu MK,
agar tidak perlu lagi menyelesaikan perkara preselisihan hasil pilkada yang
cukup lumayan banyak, belum lagi ditambah pengujian undang-undang. Selain itu
3.
Kajian
Empris-Sosiologis
Secara
empiris-sosiologis kita melihat fakta dan realitas yang terjadi
Pada tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan pilkada, yang terdiri atas 6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sengketa pemilukada yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi, 12 kota, dan 43 kabupaten. Total sejumlah 59 daerah atau 76,62 persen pilkada disengketakan ke MK.[13] Dan juga beradasarkan data yang didapatkan langsung di Mahkamah konstitusi bahwa sejak tahun 2008-2014 jumlah rekapitulasi perselisihan hasil pilkada yang masuk sekitar 732 dan yang diputus sekitar 698 dengan rincian 68 dikabul, 456 ditolak, 151 diterima, 20 tarik kembali dan yang gugur 3 perkara.[14] Berangkat dari data tersebut bahwa khusus PHPU pilkada sudah begitu banyak di ajukan ke MK. maka pembentukan peradilan khusus pemilu/badan peradilan khusus adalah sebuah langkah yang sangat tepat yang nantinya fokus menangani perselisihan hasil pilkda, apalagi akan diadakannya pilkada serentak mulai tahun ini. Hal tersebut tentu akan membantu Mahkamah Konstitusi karena setiap pemilihan kepala daerah selalu berpotensi untuk untuk dilakukan dipersengketakan.
Pada tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan pilkada, yang terdiri atas 6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sengketa pemilukada yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi, 12 kota, dan 43 kabupaten. Total sejumlah 59 daerah atau 76,62 persen pilkada disengketakan ke MK.[13] Dan juga beradasarkan data yang didapatkan langsung di Mahkamah konstitusi bahwa sejak tahun 2008-2014 jumlah rekapitulasi perselisihan hasil pilkada yang masuk sekitar 732 dan yang diputus sekitar 698 dengan rincian 68 dikabul, 456 ditolak, 151 diterima, 20 tarik kembali dan yang gugur 3 perkara.[14] Berangkat dari data tersebut bahwa khusus PHPU pilkada sudah begitu banyak di ajukan ke MK. maka pembentukan peradilan khusus pemilu/badan peradilan khusus adalah sebuah langkah yang sangat tepat yang nantinya fokus menangani perselisihan hasil pilkda, apalagi akan diadakannya pilkada serentak mulai tahun ini. Hal tersebut tentu akan membantu Mahkamah Konstitusi karena setiap pemilihan kepala daerah selalu berpotensi untuk untuk dilakukan dipersengketakan.
B.
Analisis
Dari Perspektif PRO Terhadap Pengadilan khusus Pemilu
Untuk
pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis,
yuridis-normatif dan empiris kenapa PRO terhadap topik ini:
1.
Kajian
teoritis –filosofis.
Secara teoritis Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim, mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) , rakyatlah yang dianggap
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara[15].
Namun dengan melihat realitas dengan luas wilayah yang begitu luas di
Indonesia, kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni. Karena
kompleksitas keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan
dengan melalui sistem perwakilan (repsentation)
atau demokrasi tidak langsung ( Inderect
demokcracy).[16]
Di dalam praktek, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil
rakyat yang duduk dilegislatif maupun eksekutif dipusat dan daerah, yang
dipilih oleh rakyat sendiri melalui proses pemilihan umum.
Hal
tersebut sesuai dengan pancasila yang merupakan sumber hukum dalam arti secara
materil yang tidak saja menjiwai, tetapi harus dilaksanakan dan tercermin oleh
dan dalam setiap peraturan hukum di
indonesia.[17]
secara filosofi dapat kita lihat dalam Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengandung
ciri alam pemikiran demokrasi di Indonesia.[18]
untuk
mengawal sistem kedaultan rakyat (democracy) sesuai dengan nilai-nilai pancasila
maka dibutuhkan kedaulatan hukum (Nomocracy) akan terjadi keseimbangan
(balances). Untuk mengawal sistem kedaultan rakyat (democracy) sesuai dengan
nilai-nilai pancasila maka dibutuhkan kedaulatan hukum (Nomocracy) akan terjadi
keseimbangan (balances). Seperti yang dikatakan oleh Prof Jimly Asshiddiqie
bahwa salah satu tujuan dari pemilihan umum adalah Untuk melakasanakan prinsip
hak-hak asasi warga negara. Maka tentu ini sejalan dengan tujuan dibentuknya
Mahkamah konstitusi yaitu: the guardian
of the constitution and the guardian of democracy. Oleh karena itu
pemilihan umum dan termasuk pilkada harus tetap dikawal oleh MK. Maka preadilan
khusus pemilu tidak perlu dibentuk.
2.
Kajian
Yuridis-Normatif
Secara
yuridis normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[19],
terkait tentang topik pembahasan kita mengenai pengadilan khusus pemilu memiliki
keterkaitan secara konstitusional khususnya tentang pemilihan umum dan pengakan
hukumnya sebegaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 pada pasal 22E ayat (2)
yang menyatakan:
Pemilihan
umum diselenggrakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan
perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden dan dewan perwakilan rakyat
daerah.
Dan
dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenagnannya diberiakan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
melihat
makna teks, original intent, makna
gramatika secara limitatif pasal 22E ayat 2 memang pemilihan umum hanya
diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan
DPRD, bukan pilkada. Namun, melihat lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu. Dalam Pasal 1 angka (4) menyatakan:
Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih
gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam
Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman pasal 29 ayat (1) huruf
(1) Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya
bersifat finaluntuk:
d. memutus
perselisihan tentang hasil
pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
Apabila kita melihat UU
penyelenggaraan pemilu dan UU kekuasaan kehakiman maka pemilihan kepala daerah
masuk rezim pemilu sehingga jelas bahwa Pemilihan DPR, DPD, Pilpres dan Wapres
serta Pilkada adalah kewenangan Mahkamah konstitusi dalam Memutus PHPU.
Sehingga tidak perlu dibentuk Peradilan khusus pemilu yang akan membuat sistem
peradilan yang lebih rancuh dan juga memerlukan anggaran yang tidak sedikit.
3.
Kajian
Empris-Sosiologis
Secara
empiris-sosiologis kita melihat fakta dan realitas yang terjadi
Pada tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan pilkada, yang terdiri atas 6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sengketa pemilukada yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi, 12 kota, dan 43 kabupaten. Total sejumlah 59 daerah atau 76,62 persen pilkada disengketakan ke MK.[20] Dan juga beradasarkan data yang didapatkan langsung di Mahkamah konstitusi bahwa sejak tahun 2008-2014 jumlah rekapitulasi perselisihan hasil pilkada yang masuk sekitar 732 dan yang diputus sekitar 698 dengan rincian 68 dikabul, 456 ditolak, 151 diterima, 20 tarik kembali dan yang gugur 3 perkara.[21] Berangkat dari data tersebut bahwa khusus PHPU pilkada sudah begitu banyak di ajukan ke MK. maka sudah selayaknyalah Mahkamah Konstitusi tetap berkomitmen untuk mengawal PHPU yang pada hakikatnya bagian dari penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Sehingga kita tidak perlu dibentuk khusus pemilu yang sistem dan kinerjanya belum jelas.
Pada tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan pilkada, yang terdiri atas 6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sengketa pemilukada yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi, 12 kota, dan 43 kabupaten. Total sejumlah 59 daerah atau 76,62 persen pilkada disengketakan ke MK.[20] Dan juga beradasarkan data yang didapatkan langsung di Mahkamah konstitusi bahwa sejak tahun 2008-2014 jumlah rekapitulasi perselisihan hasil pilkada yang masuk sekitar 732 dan yang diputus sekitar 698 dengan rincian 68 dikabul, 456 ditolak, 151 diterima, 20 tarik kembali dan yang gugur 3 perkara.[21] Berangkat dari data tersebut bahwa khusus PHPU pilkada sudah begitu banyak di ajukan ke MK. maka sudah selayaknyalah Mahkamah Konstitusi tetap berkomitmen untuk mengawal PHPU yang pada hakikatnya bagian dari penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Sehingga kita tidak perlu dibentuk khusus pemilu yang sistem dan kinerjanya belum jelas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Setelah melihat
analisis dari persektif pro maupun kontra terhadap topik peradilan khusus
pemilu dengan masing-masing menggunakan pendekatan kajian teoritis-filosofis,
kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis maka kami menarik kesimpulan
bahwa polemik pro maupun kontra terkait dengan topik ini ternyata hanya
terletak pada sudut pandang yang berbeda dalam menginterpretasikan atau
menafsirkan pendekatan yang dipakai baik melalui kajian teoritis-filosofis,
kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis namun pada hakikatnya memiliki
maksud dan tujuan yang sama untuk membarikan kepastian hukum dan mengawal
demokratisasi di Indonesia. Oleh karena itu kami merekomendasikan yaitu:
1.
Memaksimalkan
Peran KPU, BAWASLU dan DKPP
Dengan memaksimalkan
peran KPU, BAWASLU dan DKPP maka akan mengurangi kecurangan-kecurangan yang
terjadi pada saat pemilu yang nantinya akan mempengaruhi hasil pemelihan umum.
2.
Pembuatan
Undang-undang tentang peradilan Khusus
Dengan dibentuknya
peradilan Khusus Pemilu ini dengan undang-undang maka harus diperkuat dan
diperjelas status kedudukan dan wewenangnya.
3.
Sosialisasi
secara Berkesinambungan.
Sosialisasi
ini dibuat untuk memperkuat pemahaman masyarakat, khususnya kesadaran dalam
berpolitik, agar pada saat pemilu tidak banyak yang menimbulkan perselisihan.
4.
Memperketat
persyaratan pengajuan PHPU
Dengan
persyaratan yang ketat ini akan meminimalisasi PHPU yang tak seharusnya di
sengketakan
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Asshiddiqie,
Jimly., pengantar ilmu hukm tata negara.(Jakarta:
PT. RAJAGARFINDO PERASADA,2013).
Hakim,
Abdul Aziz., Negara Hukum dan Demokrasi
Indonesi,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012),
Kusnardi,
Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat studi Hukum Tata
Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983.
Miriam
budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: Gramedia Pustak utama,1992).
Schattsheider,
E.E, The semissovereign people: A
realist’s view of democracy in America, ( Illionis : The Dryden press
Hinsdale, 1975).
S.H,
Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam
Perspektif Hukum Positif. (Jakarta: Djambatan,2001).
Tim
Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode
2009-2014, Empat Pilar Kehidupan
Bangsa dan Negara, (jakarta:
Sekretariat jenderal MPR RI,2012).
Perundang-undangan:
________Pancasila
________Undang-Undang
Dasar 1945.
_________UU
No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Walikota yang baru disetujui menjadi UU oleh DPR.
________Putusan MK No.
97/PUU-XI/2013 yang menyatakan sengketa pemilukada bukan lagi kewenangan MK.
Namun, sebelum ada regulasi baru yang mengaturnya MK tetap berwenang menangani
sengketa pilkada.
Website/Internet:
________Viva.co.id,
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/378971-2012--jumlah-gugatan-sengketa-pemilukada-di-mk-turun
, diakses : 11 Mei 2015, pukul: 10:50 wita
__________Lihat
halaman resmi Mahkamah Konstitusi RI www.Mahkamahkonstitusi.go.id
_________Data
ini diambil dari http://www.kppod.org/datapdf/daerah/daerah-indonesia-2013.pdf.
Diakses pada 15 Mei 2015. Pukul :09:02 Wita.
[1]UUD 1945 adalah Konstitusi negara Indonesia yang merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara
di Indonesia.
[2]Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat
studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983. hlm. 328
[3] Lihat UUD 1945 pasal 22E ayat (1): pemilihan umum diselennggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
[4] Jimly asshiddiqie, Pengantar
Ilmu Hukm Tata Negara. (Jakarta: PT. RAJAGARFINDO PERASADA,2013). Hlm. 428.
[6]UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota yang baru
disetujui menjadi UU oleh DPR.
[7]Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. hlm. 328
[8] Jimly asshiddiqie. Op.Cit, hlm.
414.
[9] Jimly asshiddiqie, Ibid,
hlm. 159.
[10] Pimpinan MPR dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa dan Negara, (jakarta:Sekretariat jenderal
MPR RI,2012). hlm.15
[11]Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum
Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta:Djambatan, 2001). hlm.23
[12] Data ini diambil dari http://www.kppod.org/datapdf/daerah/daerah-indonesia-2013.pdf.
Diakses pada 15 Mei 2015. Pukul :09:02 Wita.
[13] Viva.co.id, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/378971-2012--jumlah-gugatan-sengketa-pemilukada-di-mk-turun
, diakses : 11 Mei 2015, pukul: 10:50 wita.
[14] Lihat halaman resmi Mahkamah Konstitusi RI www.Mahkamahkonstitusi.go.id
[15]Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim.
Op.Cit, hlm 328
[16] Jimly asshiddiqie. Op.Cit, hlm.
414.
[17] Jimly asshiddiqie. Op.Cit,
hlm. 159.
[18] Pimpinan MPR dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa dan Negara, (jakarta:Sekretariat jenderal
MPR RI,2012). hlm.15
[19]Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum
Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta:Djambatan, 2001). hlm.23
[20] Viva.co.id, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/378971-2012--jumlah-gugatan-sengketa-pemilukada-di-mk-turun
, diakses : 11 Mei 2015, pukul: 10:50 wita.
[21] Lihat halaman resmi Mahkamah Konstitusi RI www.Mahkamahkonstitusi.go.id