Senin, 10 September 2018

PENGADILAN KHUSUS PEMILU



Oleh : Sirajuddin Raju, S.H.
* Tulisan ini dibuat ketika mahasiswa

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam UUD 1945[1] pasal 1 ayat (2) menyatakan: kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar, disini jelas kita melihat bahwa indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham kedaulatan rakyat atau biasa disebut dengan demokrasi. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) , rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara[2]. Karena memang pada hakikatnya demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
 Pemilihan Umum yang merupakan pemilihan langsung sebagai wujud implementasi dari kedaulatan rakyat (democracy). Di Indonesia pemilihan umum ini di selenggarakan untuk memilih  eksekutif dan legislatif baik pusat maupun daerah yang diselenggarakan oleh KPU[3]. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa tujuan penyelenggraan pemilihan umum itu ada 4, yaitu:
a.      Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;
b.   Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat dilembaga perwakilan;
c.       Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
d.      Untuk melakasanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Namun melihat realitas yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilihan umum masih Permasalahan yang nantinya akan mempengaruhi rekapitulasi hasil penghitungan suara. bahkan kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat dalam hasil perhitungan suara antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu ataupun karena faktor human error.[4] Jika hal tersebut terjadi dan menyebabkan kerugian bagi peserta pemilihan umum maka dapat menempu upaya hukum dengan mengajukan permohonan PHPU ke Mahkamah Konstitusi. Namun sebenarnya untuk pilkada langsung itu sudah bukan lagi kewenangan MK[5] akan tetapi berdasarkan UU pilkada terbaru[6] kembali mengamanatkan MK menangani sengketa Pilkada.
Demi menegakkan hukum khususnya dibagian pemilihan umum, maka muncullah wacana akan dibentuknya pengadilan khusus pemilu yang nantinya akan fokus menangani sengketa-sengketa pemilu. Namun hal tersebut muncul reaksi pro kontra baik antar pakar maupun masyarakat pada umumnya.
Berangkat dari hal tersebut maka kami selaku penyusun artikel ini ingin  menganalisis dan mengkaji lebih dalam dimanakah letak perbedaan sudut pandang serta alasan-alasannya baik dari persektif pro maupun kontra. dan apakah memang pengadilan khusus pemilu sangat penting untuk dibentuk ataukah bahkan tidak perlu dibentuk  serta bagaimanakah hubungan konstitusionalitasnya dengan   UUD 1945 sebagai konstitusi negara indonesia.

B.  Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah analisis dari perspektif PRO terhadap pengadilan khusus pemilu.?
2.      Bagaimanakah analisis dari perspektif KONTRA terhadap pengadilan khusus pemilu.?


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Analisis Dari Perspektif PRO Terhadap Pengadilan khusus Pemilu
Untuk pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatif dan empiris kenapa PRO terhadap topik ini:
1.      Kajian teoritis –filosofis.
Secara teoritis Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) , rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara[7]. Namun dengan melihat realitas dengan luas wilayah yang begitu luas di Indonesia, kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni. Karena kompleksitas keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistem perwakilan (repsentation) atau demokrasi tidak langsung ( Inderect demokcracy).[8] Di dalam praktek, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk dilegislatif maupun eksekutif dipusat dan daerah, yang dipilih oleh rakyat sendiri melalui proses pemilihan umum.
Hal tersebut sesuai dengan pancasila yang merupakan sumber hukum dalam arti secara materil yang tidak saja menjiwai, tetapi harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan  hukum di indonesia[9]. secara filosofi dapat kita lihat dalam Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengandung ciri alam pemikiran demokrasi di Indonesia[10].
Untuk mengawal sistem kedaultan rakyat (democracy) sesuai dengan nilai-nilai pancasila maka dibutuhkan kedaulatan hukum (Nomocracy) akan terjadi keseimbangan (balances). Dengan dibentuknya Pengadilan khusus pemilu maka ini akan fokus menangani perselisihan hasil pemilihan lansung khususnya mengenai Pilkada, karena kita tahu bersama bahwa pilpres dan pileg masuk direzim pemilihan umum yang upaya hukumnya melaui Mahkamah Konstitusi, sedangkan pilkada masuk direzim pemda. Oleh karena itu pembentukan pengadilan khusus pemilu adalah solusi yang tepat untuk menjawab perselisihan hasil pilkada langsung.
2.  Kajian Yuridis-Normatif
Secara yuridis normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[11], terkait tentang topik pembahasan kita mengenai pengadilan khusus pemilu memiliki keterkaitan secara konstitusional khususnya tentang pemilihan umum dan pengakan hukumnya sebegaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 pada pasal 22E ayat (2) yang menyatakan:
Pemilihan umum diselenggrakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden dan dewan perwakilan rakyat daerah.
Dan dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenagnannya diberiakan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Secara konstitusional upaya hukum untuk pemilu jelas adalah Mahkamah Konstitusi, pemilu yang dimaksudkan adalah sesuai pasal 22E ayat (2). Namun untuk pilkada sangat tepat apabila upaya hukumnya diberikan kepada peradilan khusus pemilu karena juga memiliki dasar hukum yang kuat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota yang baru disetujui menjadi UU oleh DPR, mengamanatkan MK menangani sengketa Pilkada pada Pasal 157 ayat (1) , (2), (3) dan (4) menyatakan:
1)      Perkara perselisihan pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
2)      Badan peradilan khusus sebagaimana ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional.
3)       Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
4)      Peserta pemilihan  dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan  perolehan suara oleh KPU provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu peradilan khusus pemilu/badan peradilan khusus jelas akan dibentuk karena secara hukum sudah ada gambaran yang jelas akan pembentukan peradilan tersebut. Dengan luas wilayah indonesia yang begitu luas yang terdiri dari sekitar 34 provinsi, 98 kota dan 410 kabupaten dengan total 542.[12] Maka sudah layaknyalah pembentukan peradilan khusus tersebut dipercepat dan kita kawal bersama pembentukannya. Karena lebih cepat maka akan membantu MK, agar tidak perlu lagi menyelesaikan perkara preselisihan hasil pilkada yang cukup lumayan banyak, belum lagi ditambah pengujian undang-undang. Selain itu
3.      Kajian Empris-Sosiologis
Secara empiris-sosiologis kita melihat fakta dan realitas yang terjadi
 Pada tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan pilkada, yang terdiri atas 6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sengketa pemilukada yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi, 12 kota, dan 43 kabupaten. Total sejumlah 59 daerah atau 76,62 persen pilkada disengketakan ke MK.[13] Dan juga beradasarkan data yang didapatkan langsung di Mahkamah konstitusi bahwa sejak tahun 2008-2014 jumlah rekapitulasi perselisihan hasil pilkada yang masuk sekitar 732 dan yang diputus  sekitar 698 dengan rincian 68 dikabul, 456 ditolak, 151 diterima, 20 tarik kembali dan yang gugur 3 perkara.[14] Berangkat dari data tersebut bahwa khusus PHPU pilkada sudah begitu banyak di ajukan ke MK. maka pembentukan peradilan khusus pemilu/badan peradilan khusus adalah sebuah langkah yang sangat tepat yang nantinya fokus menangani perselisihan hasil pilkda, apalagi akan diadakannya pilkada serentak mulai tahun ini. Hal tersebut  tentu akan membantu Mahkamah Konstitusi karena setiap pemilihan kepala daerah selalu berpotensi untuk untuk dilakukan dipersengketakan.

B.     Analisis Dari Perspektif PRO Terhadap Pengadilan khusus Pemilu
Untuk pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatif dan empiris kenapa PRO terhadap topik ini:
1.      Kajian teoritis –filosofis.
Secara teoritis Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) , rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara[15]. Namun dengan melihat realitas dengan luas wilayah yang begitu luas di Indonesia, kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni. Karena kompleksitas keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistem perwakilan (repsentation) atau demokrasi tidak langsung ( Inderect demokcracy).[16] Di dalam praktek, yang menjalankan kedaulatan rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk dilegislatif maupun eksekutif dipusat dan daerah, yang dipilih oleh rakyat sendiri melalui proses pemilihan umum.
Hal tersebut sesuai dengan pancasila yang merupakan sumber hukum dalam arti secara materil yang tidak saja menjiwai, tetapi harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan  hukum di indonesia.[17] secara filosofi dapat kita lihat dalam Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengandung ciri alam pemikiran demokrasi di Indonesia.[18]
untuk mengawal sistem kedaultan rakyat (democracy) sesuai dengan nilai-nilai pancasila maka dibutuhkan kedaulatan hukum (Nomocracy) akan terjadi keseimbangan (balances). Untuk mengawal sistem kedaultan rakyat (democracy) sesuai dengan nilai-nilai pancasila maka dibutuhkan kedaulatan hukum (Nomocracy) akan terjadi keseimbangan (balances). Seperti yang dikatakan oleh Prof Jimly Asshiddiqie bahwa salah satu tujuan dari pemilihan umum adalah Untuk melakasanakan prinsip hak-hak asasi warga negara. Maka tentu ini sejalan dengan tujuan dibentuknya Mahkamah konstitusi yaitu: the guardian of the constitution and the guardian of democracy. Oleh karena itu pemilihan umum dan termasuk pilkada harus tetap dikawal oleh MK. Maka preadilan khusus pemilu tidak perlu dibentuk.
      2.      Kajian Yuridis-Normatif
Secara yuridis normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[19], terkait tentang topik pembahasan kita mengenai pengadilan khusus pemilu memiliki keterkaitan secara konstitusional khususnya tentang pemilihan umum dan pengakan hukumnya sebegaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 pada pasal 22E ayat (2) yang menyatakan:
Pemilihan umum diselenggrakan untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden dan dewan perwakilan rakyat daerah.
Dan dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenagnannya diberiakan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
melihat makna teks, original intent, makna gramatika secara limitatif pasal 22E ayat 2 memang pemilihan umum hanya diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD, bukan pilkada. Namun, melihat lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam Pasal 1 angka (4) menyatakan:
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk  memilih  gubernur,  bupati,  dan  walikota  secara demokratis  dalam  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia berdasarkan  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 29 ayat (1) huruf
(1)  Mahkamah  Konstitusi  berwenang  mengadili  pada  tingkat pertama  dan  terakhir  yang  putusannya  bersifat  finaluntuk:
d.  memutus  perselisihan  tentang  hasil  pemilihan  umum; dan
e.  kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
            Apabila kita melihat UU penyelenggaraan pemilu dan UU kekuasaan kehakiman maka pemilihan kepala daerah masuk rezim pemilu sehingga jelas bahwa Pemilihan DPR, DPD, Pilpres dan Wapres serta Pilkada adalah kewenangan Mahkamah konstitusi dalam Memutus PHPU. Sehingga tidak perlu dibentuk Peradilan khusus pemilu yang akan membuat sistem peradilan yang lebih rancuh dan juga memerlukan anggaran yang tidak sedikit.

3.    Kajian Empris-Sosiologis
Secara empiris-sosiologis kita melihat fakta dan realitas yang terjadi
 Pada tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan pilkada, yang terdiri atas 6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sengketa pemilukada yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi, 12 kota, dan 43 kabupaten. Total sejumlah 59 daerah atau 76,62 persen pilkada disengketakan ke MK.[20] Dan juga beradasarkan data yang didapatkan langsung di Mahkamah konstitusi bahwa sejak tahun 2008-2014 jumlah rekapitulasi perselisihan hasil pilkada yang masuk sekitar 732 dan yang diputus  sekitar 698 dengan rincian 68 dikabul, 456 ditolak, 151 diterima, 20 tarik kembali dan yang gugur 3 perkara.[21] Berangkat dari data tersebut bahwa khusus PHPU pilkada sudah begitu banyak di ajukan ke MK. maka sudah selayaknyalah Mahkamah Konstitusi tetap berkomitmen  untuk mengawal PHPU yang pada hakikatnya bagian dari penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia. Sehingga kita tidak perlu dibentuk khusus pemilu yang sistem dan kinerjanya belum jelas.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Setelah melihat analisis dari persektif pro maupun kontra terhadap topik peradilan khusus pemilu dengan masing-masing menggunakan pendekatan kajian teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis maka kami menarik kesimpulan bahwa polemik pro maupun kontra terkait dengan topik ini ternyata hanya terletak pada sudut pandang yang berbeda dalam menginterpretasikan atau menafsirkan pendekatan yang dipakai baik melalui kajian teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis namun pada hakikatnya memiliki maksud dan tujuan yang sama untuk membarikan kepastian hukum dan mengawal demokratisasi di Indonesia. Oleh karena itu kami merekomendasikan yaitu:
1.      Memaksimalkan Peran KPU, BAWASLU dan DKPP
Dengan memaksimalkan peran KPU, BAWASLU dan DKPP maka akan mengurangi kecurangan-kecurangan yang terjadi pada saat pemilu yang nantinya akan mempengaruhi hasil pemelihan umum.
2.      Pembuatan Undang-undang tentang peradilan Khusus
Dengan dibentuknya peradilan Khusus Pemilu ini dengan undang-undang maka harus diperkuat dan diperjelas status kedudukan dan wewenangnya.
3.      Sosialisasi secara Berkesinambungan.
Sosialisasi ini dibuat untuk memperkuat pemahaman masyarakat, khususnya kesadaran dalam berpolitik, agar pada saat pemilu tidak banyak yang menimbulkan perselisihan.
4.      Memperketat persyaratan pengajuan PHPU
Dengan persyaratan yang ketat ini akan meminimalisasi PHPU yang tak seharusnya di sengketakan


DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Asshiddiqie, Jimly., pengantar ilmu hukm tata negara.(Jakarta: PT. RAJAGARFINDO   PERASADA,2013).

Hakim, Abdul Aziz., Negara Hukum dan Demokrasi Indonesi,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012),

Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983.

Miriam budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustak utama,1992).
Schattsheider, E.E, The semissovereign people: A realist’s view of democracy in America, ( Illionis : The Dryden press Hinsdale, 1975).
S.H, Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta: Djambatan,2001).

Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa  dan Negara, (jakarta: Sekretariat  jenderal MPR RI,2012).

Perundang-undangan:
________Pancasila
________Undang-Undang Dasar 1945.
_________UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota yang baru disetujui menjadi UU oleh DPR.
________Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan sengketa pemilukada bukan lagi kewenangan MK. Namun, sebelum ada regulasi baru yang mengaturnya MK tetap berwenang menangani sengketa pilkada.




Website/Internet:
__________Lihat halaman resmi Mahkamah Konstitusi  RI www.Mahkamahkonstitusi.go.id
_________Data ini diambil dari http://www.kppod.org/datapdf/daerah/daerah-indonesia-2013.pdf. Diakses pada 15 Mei 2015. Pukul :09:02 Wita.





[1]UUD 1945 adalah Konstitusi negara Indonesia yang merupakan  hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara di Indonesia.
[2]Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983. hlm. 328
[3] Lihat UUD 1945 pasal 22E ayat (1): pemilihan umum diselennggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
[4] Jimly asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukm Tata Negara. (Jakarta: PT. RAJAGARFINDO PERASADA,2013). Hlm. 428.
[5] Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan sengketa pemilukada bukan lagi kewenangan MK. Namun, sebelum ada regulasi baru yang mengaturnya MK tetap berwenang menangani sengketa pilkada.
[6]UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota yang baru disetujui menjadi UU oleh DPR.
[7]Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. hlm. 328
[8] Jimly asshiddiqie. Op.Cit, hlm. 414.
[9] Jimly asshiddiqie, Ibid, hlm. 159.
[10] Pimpinan MPR dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa  dan Negara, (jakarta:Sekretariat jenderal MPR RI,2012). hlm.15

[11]Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta:Djambatan, 2001). hlm.23
[12] Data ini diambil dari http://www.kppod.org/datapdf/daerah/daerah-indonesia-2013.pdf. Diakses pada 15 Mei 2015. Pukul :09:02 Wita.
[14] Lihat halaman resmi Mahkamah Konstitusi  RI www.Mahkamahkonstitusi.go.id
[15]Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Op.Cit, hlm 328
[16] Jimly asshiddiqie. Op.Cit, hlm. 414.
[17] Jimly asshiddiqie. Op.Cit, hlm. 159.
[18] Pimpinan MPR dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa  dan Negara, (jakarta:Sekretariat jenderal MPR RI,2012). hlm.15

[19]Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta:Djambatan, 2001). hlm.23
[21] Lihat halaman resmi Mahkamah Konstitusi  RI www.Mahkamahkonstitusi.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar