Senin, 27 Juni 2016

Pro-Kontra Terhadap Penghapusan Peraturan Pendirian Rumah Ibadat

[ Oleh: Sirajuddin Raju, S.H. ]
* Tulisan ini dibuat ketika masih mahasiswa
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pendiri negara menyadari bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa indonesia yang harus diakui, diterima, dan dihormati  yang kemudian diwujudkan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.[1] memang adalah sebuah realitas yang tak bisa ditolak bahwa indonesia adalah negara yang sangat plural yang terdiri dari berbagai agama, suku, budaya dan bahasa.
Manifestasi  adanya  pluralitas  tersebut  agar  kiranya setiap warga negara bebas menjaga dirinya sendiri, sesuai dengan pencarian dan pilihannya, serta dapat menghargai dan menghormati perbedaan dengan orang lain. didalam suatu negara hukum  tentunya setiap  negara  memiliki aturan hukum  yang  sudah  diatur  dalam  undang-undang  dan  dituangkan  kedalam Konstitusi  sehingga  ia  merupakan  suatu  perjanjian  masyarakat  untuk mencapai keadilan yang menyeluruh bagi semua warga  Indonesia  yang telah tertulis  dalam  Konstitusi,  sehingga  jelas  bahwa  masyarakat, negara dan konstitusi mempunyai hubungan yang sangat erat.
Rumah ibadat merupakan bagian yang sangat penting dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing setiap warga negara, oleh karenanya maka diperlukan suatu regulasi hukum yang tepat. Dalam upaya mengatur prosedur pendirian Rumah Ibadat tersebut, maka Pemerintah  telah  menerbitkan  kebijakan  yang  tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama  dan Menteri Dalam  Negeri  Nomor 9 dan 8  Tahun  2006  bab  IV  Tentang  Pendirian  Rumah  Ibadat  pada  Pasal  14 menyebutkan syarat-syarat pendirian rumah ibadah tersebut yaitu[2]:
1)   Pendirian  rumah  ibadat  harus  memenuhi  persyaratan  administratif  dan persyaratan teknis bangunan gedung.

2)   Selain  memenuhi  persyaratan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:

a.    daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90  (sembilan  puluh)  orang  yang  disahkan  oleh  pejabat  setempat  sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagalmana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); s

b.   dukungan  masyarakat  setempat  paling  sedikit  60  (enam  puluh)  orang  yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c.    rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

d.    rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

3)   Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan  persyaratan  huruf  b  belum  terpenuhi,  pemerintah  daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Pada prinsipnya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8  Tahun 2006 bahwa tentang pendirian rumah ibadat adalah   untuk melindungi  setiap  usaha penduduk  melaksanakan  ajaran  agama bagi pemeluk-perneluknya,  dan untuk  memberikan bimbingan  dan  pelayanan  agar  setiap  penduduk  dalam melaksanakan  ajaran  agamanya  dapat  berlangsung  dengan rukun, lancar, dan tertib. Namun sangat disayangkan peraturan yang dibuat ternyata justru banyak menimbulkan polemik  atau pro-kontra ditengah masyarakat, sehingga pemerintah harus benar-benar  memberikan perhatian terhadap hal tersebut karena ini akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Berangkat dari hal tersebut maka kami selaku penyusun artikel ini ingin  menganalisis lebih dalam dimanakah letak perbedaan sudut pandang serta alasan-alasannya baik dari persektif pro maupun kontra, dan apakah memang regulasi/peraturan tentang  Pendirian  Rumah  Ibadat masih  sesuai  dengan   UUD 1945 sehingga tidak perlu untuk dihapuskan, ataukah sebaliknya bertentangan dengan UUD 1945 sehingga perlu untuk dihapuskan.
B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah analisis dari perspektif PRO terhadap penghapusan peraturan pendirian rumah ibadat?

2.      Bagaimanakah analisis dari perspektif KONTRA terhadap penghapusan peraturan pendirian rumah ibadat?.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Analisis Dari Perspektif PRO Terhadap Penghapusan Peraturan  Pendirian Rumah Ibadat.

Untuk pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatif dan empiris kenapa PRO terhadap topik ini:
1. Kajian teoritis –filosofis.
Secara teoritis para ahli hukum[3] sependapat bahwa  salah satu konsepsi negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap terhadap HAM (Hak Asasi Manusia) dan tentu ini juga sejalan konsepsi negara demokrasi dengan menganut prinsip equal protection  before  the  law dimana negara  dan  hukum  harus melindungi  warga  negaranya  secara  sama,  tanpa  yang  satu  dianak  emaskan dan  yang  lain  di  anaktirikan baik itu suku, budaya, ras dan termasuk agama karena ini  adalah bentuk persamaan kedudukan  di  antara  warga  negara. Indonesia adalah juga termasuk negara demokrasi dan negara hukum (democracy and Nomocracy) sangat menjunjung tinggi tentang HAM sebagaimana yang dituangkan dalam konstitusi[4].
Dalam ilmu hukum kita tidak hanya melihat dari segi sumber hukum formal tetapi juga hukum materil, secara filosofi pancasila adalah sumber hukum dalam arti secara materil yang tidak saja menjiwai, tetapi harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan  hukum di indonesia[5]. oleh karena itu hukum di indonesia haruslah berdasar pada pancasila yang juga merupakan dasar dan ideologi negara sekaligus Modus vivendi (kepakatan leluhur) bangsa indonesia yang sulit atau (mungkin) tidak bisa digantikan[6].

Sehingga Peraturan Bersama Menteri Agama  dan Menteri Dalam  Negeri  Nomor 9 dan 8  Tahun  2006  bab  IV  yang juga mengatur tentang  Pendirian  Rumah  Ibadat  pada  Pasal  14  ayat (1) yang mengatur persyaratan administratif dan ayat (2) persyaratan khusus meliputi daftar KTP pengguna rumah minimal 90 orang dan 60 orang dukungan masyarakat setempat [7] secara tidak langsung mengandung unsur diskriminatif, tehadap kaum umat minoritas diwilayah tertentu di Indonesia. Karena Secara filosofis, Tentu hal ini bertentangan dengan pancasila[8]:

 Pancasila sila pertama(1) Ketuhanan Yang Maha Esa, pada butir ke-6 yang mengatakan: mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, Sila kedua (2) menagatakan: Mengakaui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban hak asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan, suku, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.

Jika peraturan tersebut diabiarkan maka jangan sampai ini akan menganggu persatuan dan kesatuan bangsa sesuai sila ketiga(3) pancasila yaitu persatuan indonesia karena tidak adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia sesuai sila kelima(5), padahal Soekarno mengatakan bahwa: pancasila adalah satu alat mempersatu yang saya yakin seyakin-yakinya bangsa indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu padu diatas dasar pancasila itu[9].Oleh karena itu ditinjau dari kajian teoritis-filosofis diatas maka sangat urgen untuk dihapus peraturan pemerintah tentang pendirian rumah ibadat saat ini.

2.      Kajian yuridis-normatif
Secara yuridis normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[10], terkait tentang topik pembahasan kita mengenai penghapusan peraturan tentang pendirian rumah ibadat memiliki keterkaitan secara konstitusional mengenai HAM yang sudah ditegaskan dalam UUD 1945. pasal 28 I ayat (2) Menyatakan:

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasr apapun dan berhak mendapatkan perlindunagan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Dan juga disebutkan dalam UUD 1945 padaPasal 29 ayat(2) yaitu:

“Negara  menjamin  kemerdekaan  tiap-tiap  penduduk  untuk  memeluk agamanya  masing-masing  dan  untuk  beribadah  menurut  agamanya  dan kepercayaan itu.”

            Dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi(HAM) berbunyi:

(1) Setiap  orang  bebas  memeluk  agamanya  masing-masing  dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Negara  menjamin  kemerdekaan  setiap  orang  memeluk  agamanya masing-masing  dan  untuk  beribadah  menurut  agamanya  dan kepercayaannya itu.

 Dan dalam  Pasal  4  Undang-Undang Nomor  39  Tahun  1999  tentang  Hak Asasi Manusia (UU HAM) dijelaskan:

“Hak  untuk  hidup,  hak  untuk  tidak  disiksa,  hak  kebebasan  pribadi, pikiran  dan  hati  nurani,  hak  beragama,  hak  untuk  tidak  diperbudak, hak untuk  diakui  sebagai  pribadi  dan  persamaan  di  hadapan  hukum, dan  hak  untuk  tidak  dituntut  atas  dasar  hukum  yang  berlaku  surut adalah  Hak Asasi Manusia  yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Dan juga dalam bagian II pasal 2 ayat 2 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenanton Economic, Social And Cultural rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) mengatakan:

“Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjaminbahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaanatau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.”

            Dari uraian diatas baik dilihat dari UUD 1945 , Undang-undang Nomor 39 tentang HAM dan juga Undang-Undang No. 11 tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenanton Economic, Social And Cultural rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya), maka sudah jelas bahwa hak untuk beragama dan menjalankan ibadah menurut kepercaayaan tersebut termasuk mendirikan rumah ibadat sudah mendapat jaminan secara hukum, Tentunya  jaminan  tersebut  bukan  merupakan  suatu  yang  abstrak, tetapi  merupakan  sesuatu  yang  absolut,  sehingga  pada  prakteknya  perlu untuk ditegakkan.

Oleh karena itu Peraturan Bersama Menteri Agama  dan Menteri Dalam  Negeri  Nomor 9 dan 8  Tahun  2006  bab  IV  Tentang  Pendirian  Rumah  Ibadat,  pada  Pasal  14  ayat (1) yang mengatur persyaratan administratif dan ayat (2) persyaratan khusus meliputi daftar KTP pengguna rumah minimal 90 orang dan 60 orang dukungan masyarakat setempat, sudah seyognya untuk dicabut karena dari segi hirarki perundang-undangan[11] saja tidak termasuk, dan kalaupun dipaksakan maka ini bertentangan dengan UUD 1945 dan perundang-undangan yang lainnya. Sehingga peraturan tentang  pendirian rumah ibadat saat ini harus dihapuskan.

3.      Kajian empiris-soiologis
Bila kita lihat dewasa ini ternyata fakta dimasyarakat sudah muncul sikap intoleransi dalam beragama, Menurut  Komnas HAM[12],  selama tahun 2012 dan 2013 saja , pengaduan tentang peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan begitu tinggi.  Pada  tahun  2012,  tercatat  68  pengaduan  dengan  perincian:  perusakan  dan penyegelan rumah ibadah sebanyak 20 kasus, konflik dan sengketa internal 19 kasus, gangguan dan pelarangan ibadah 17 kasus dan diskriminasi minoritas serta penghayat kepercayaan 6 kasus. Pada tahun  2013  Komnas HAM  menerima  39  berkas  pengaduan.  Diskriminasi,  pengancaman,  dan  kekerasan terhadap pemeluk agama sebanyak 21 berkas, penyegelan, perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah sebanyak 9 berkas dan penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak 9 berkas.
Menganalisis fakta yang kemudian diperkuat dengan data dari Komnas HAM diatas maka peraturan tentang  pendirian rumah ibadat saat ini urgen untuk dihapus dan diganti dengan produk undang-undang supaya pengaturannya harus lebih jelas sehingga setidak-tidaknya bisa meminimalisasi sikap atau tindakan diskriminatif ditengah masyarakat.
B.     Analisis Dari Perspektif KONTRA Terhadap Penghapusan Peraturan tentang pendirian rumah ibadat.

Untuk pembahasan kali ini juga akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatis dan empiris-sosiologis kenapa kontra terhadap topik ini:
1.    Kajian teoritis –filosofis.

Secara teoritis dalam konsepsi Negara  Hukum adalah  negara berlandaskan  atas  hukum  dan  keadilan bagi warganya, dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku  dan  perbuatan  baik  dilakukan  oleh  para  penguasa  atau  aparatur  negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas hukum[13]. tentu ini juga sejalan dengan konsepsi negara demokrasi dengan menganut prinsip equal protection  before  the  law dimana negara menyamakan persamaan derajat tanpa membedakan suku, budaya, ras dan Agama.

Dalam ilmu hukum kita mengenal sumber hukum materil dan sumber hukum formal[14], sumber hukum materil salah satunya meliputi dalam arti filsafat yang mengenal hakekat hukum secara filsafat seperti yang dikatakan oleh Plato dan Aristoteles yang memandang bahwa hukum adalah cinta akan kebijaksanaan dan keadilan[15]. secara filosofi pancasila adalah sumber hukum dalam arti secara materil yang tidak saja menjiwai, tetapi harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan  hukum diindonesia[16].

Jika  dilihat  dari  perspektif  Pemerintah,  dapat  dipahami  bahwa mengapa  Pemerintah  mencoba  membuat  suatu  pengaturan  terkait  dengan pembangunan  Rumah  Ibadah  melalui  PBM  pendirian  Rumah  Ibadat Tahun 2006,  yaitu  untuk  menjaga  ketertiban  umum,  mengingat  Negara Indonesia adalah  negara  yang  plural  yang  memiliki  berbagai  agama  dan kepercayaan. Pada dasarnya ketentuan PBM ini adalah prosedur administratif, yang berarti  sepanjang aturan dipenuhi seyogyanya tidak akan menimbulkan konflik pengaturan  tentang  izin  pembangunan  rumah  ibadat  ini  dalam konteks  HAM  pada  dasarnya  diperkenankan  sepanjang  untuk  mencegah kekacauan publik[17]. Karena Secara filosofis Tentu hal ini masih sejalan dengan pancasila[18].

pancasila sila pertama(1) Ketuhanan yang Maha Esa, pada butir ketiga (3) yang mengatakan: mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan butir ke empat(4) yang mengatakan: Membina kerukunan hidup sesama ummat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh karena itu ditinjau dari kajian teoritis-filosofis diatas maka peraturan pemerintah tentang pendirian rumah ibadat saat ini tidak perlu dihapuskan karena masih sesuai dengan nilai-nilai pancasila.

2.    Kajian yuridis-normatif
Secara yuridis-normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[19], terkait tentang topik pembahasan kita mengenai pengahpusan peraturan tentang pendirian rumah ibadat memiliki keterkaitan secara konstitusional yang sudah ditegaskan dalam UUD 1945. pasal 28 J ayat (2) Menyatakan:

Dalam hal menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang telah yang ditetapkan oleh undang-undang  dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nialai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dan juga disebutkan dalam UUD 1945 padaPasal 29 ayat(2) yaitu:

“Negara  menjamin  kemerdekaan  tiap-tiap  penduduk  untuk  memeluk agamanya  masing-masing  dan  untuk  beribadah  menurut  agamanya  dan kepercayaan itu.”

            Dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang HAM ( Hak Asasi Manusia) Nomor 39 Tahun 1999 berbunyi:

(1) Setiap  orang  bebas  memeluk  agamanya  masing-masing  dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Negara  menjamin  kemerdekaan  setiap  orang  memeluk  agamanya masing-masing  dan  untuk  beribadah  menurut  agamanya  dan kepercayaannya itu.

                        Dengan  adanya Peraturan Bersama Menteri Agama  dan Menteri Dalam  Negeri  Nomor 9 dan 8  Tahun  2006 Tentang  Pendirian  Rumah  Ibadat justru diharapkan benar-benar akan menjamin kemerdekaan dalam memeluk agama dan menjalankan kepercayaanya itu secara tertib rukun dan damai,        Dengan berdasar kepada UUD 1945 dan pancasila, sehingga tercapai hakikat tujuan dari hukum itu sendiri yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan, sehingga peraturan Tentang  Pendirian  Rumah  Ibadah tidak perlu dihapuskan.
3.      Kajian empiris-soiologis
Bila kita lihat dewasa ini ternyata fakta dimasyarakat sudah muncul sikap intoleransi dalam beragama, Menurut  Komnas HAM[20],  selama tahun 2012 dan 2013 saja , pengaduan tentang peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan begitu tinggi.  Pada  tahun  2012,  tercatat  68  pengaduan  dengan  perincian:  perusakan  dan penyegelan rumah ibadah sebanyak 20 kasus, konflik dan sengketa internal 19 kasus, gangguan dan pelarangan ibadah 17 kasus dan diskriminasi minoritas serta penghayat kepercayaan 6 kasus. Pada tahun  2013  Komnas HAM  menerima  39  berkas  pengaduan.  Diskriminasi,  pengancaman,  dan  kekerasan terhadap pemeluk agama sebanyak 21 berkas, penyegelan, perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadat sebanyak 9 berkas dan penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak 9 berkas.

Menganalisis fakta yang kemudian diperkuat dengan data dari Komnas HAM diatas sebenarnya memang datanya sama seperti data dari persektif Pro, namun dari perspektif Kontra melihat dari sudut pandang yang berbeda dan ternyata peraturan tentang  pendirian rumah ibadat saat ini tidak perlu untuk dihapuskan, karena sedangkan peraturannya saja sudah ada masih banyak perlakuan atau tindakan yang tidak kita inginkan, apalagi jika peraturan yang ada saat ini dihapuskan justru ini akan membuat dimasyarakat akan tambah kacau, sehingga akan merenggankan persatuan dan kesatuan bangsa.

BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan.

Setelah melihat analisis dari persektif pro maupun kontra terhadap topik penghapusan peraturan pemerintah pendirian rumah ibadat dengan masing-masing menggunakan pendekatan kajian teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis maka kami menarik kesimpulan bahwa polemik pro maupun kontra terkait dengan topik ini ternyata hanya terletak pada sudut pandang yang berbeda dalam menginterpretasikan atau menafsirkan pendekatan yang dipakai baik melalui kajian teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis namun pada hakikatnya memiliki maksud dan tujuan yang sama untuk tidak adanya diskriminatif atau tindakan lain yang tidak diinginkan sehingga tercipta rasa aman, rukun dan damai dalam memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu kami merekomendasikan yaitu:

1.    Pembuatan Undang-Undang Tentang Kerukunan Umat Bergama
Dengan adanya  produk hukum yang jelas dalam bentuk undang-undang maka ini akan memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dari hukum itu sendiri dan tentu sejalan dengan aliran dan  mazhab seperti: Aliran hukum alam, aliran historical juridispurdence, aliran positivisme hukum, aliran sosiological dan antropogical, aliran utilitarianism dan yang  pasti pancasila dan UUD 1945.
2.      Pembuatan Lembaga Negara Tentang Kerukunan Umat Beragama.

Pembuatan lembaga negara ini dibentuk saja melalui undang-undang, apakah dalam bentuk komisi ataupun yang lainnya. Sehingga lembaga ini nantinya memang fokus pada pembinaan umat beragama, dengan demikian ini diharapkan akan lebih terciptannya kerukunan, kedamaian dan terciptanya harmonisasi dalam perbedaan agama di indonesia. Tentu ini akan lebih memperkuat keutuhan bangsa dan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Asshiddiqie, Jimly., pengantar ilmu hukm tata negara.(Jakarta: PT. RAJAGARFINDO   PERASADA,2013).
Hakim, Abdul Aziz., Negara Hukum dan Demokrasi Indonesi,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012),
Latif, Yudi., NEGARA PARIPURNA Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas PANCASILA. (Jakarta: PT.Gramedia, 2011).
Mahfud Md, Moh.  Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.(Jakarta: PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2, 2011).
M Gaffar,Janedjri., Demokrasi dan Pemilu di Indonesia. (Jakarta: Konstitusi Press, 2013).

S.H, Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta: Djambatan,2001).
Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa  dan Negara, (jakarta: Sekretariat  jenderal MPR RI,2012).

Perundang-undangan:

________Pancasila

________Undang-Undang Dasar 1945.

________ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.


[1] Pimpinan MPR dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa  dan Negara, (jakarta:Sekretariat jenderal MPR RI,2012). hlm.15
[2] Peraturan Bersama Menteri Agama  Dan Menteri Dalam  Negeri  No. 9 Dan 8  Tahun  2006 Tentang  Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat.
[3] Julius  Stahl(Perlindungan terhadap HAM), A.V. Dicey (Equality before the law.), Arief  Sidharta, Scheltema (Pengakuan,  penghormatan,  dan  perlindungan  Hak  Asasi Manusia  yang  berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity). Dan Jimly Asshiddiqi e(perlindungan terhadap HAM) serta pakar yang lainnya.
[4] Istilah konstitusi sering digunakan dalam maksud yang sama dalam UUD,meskipun secara teoritis cakupan arti konstitusi lebih luas daripada arti UUD. Lihat pasal 1 ayat 2 dan 3 UUD 1945(Negara indonesia adalah berkedaulatan rakyat/demikrasi dan negara hukum)
[5] Jimly asshiddiqie, pengantar ilmu hukm tata negara.(Jakarta: PT. RAJAGARFINDO PERASADA,2013). hlm. 159.
[6] Moh. Mahfud Md, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.(Jakarta: PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2, 2011).hlm.5.
[7] Peraturan Bersama Menteri Agama  Dan Menteri Dalam  Negeri  Nomor 9 Dan 8  Tahun  2006 Tentang  Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat. Op.cit.
[8] Lihat butir-butir pancasila.
[9] Yudi Latif, NEGARA PARIPURNA Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas PANCASILA. (Jakarta: PT.Gramedia, 2011). hlm.1.
[10]Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif.(Jakarta:Djambatan,2001)hlm.23
[11]Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah berturut-turut.
[12]Data dari pelaporan  KOMNAS HAM.
[13]Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi Indonesi,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012), hlm.8.
[14] Waluyadi, op.cit,. hlm. 23-25
[15] Waluyadi , ibid.  hlm. 36.
[16] Jimly asshiddiqie, op.cit,. hlm. 159.
[17]Nela Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama Di Indonesia (External Freedom) Dihubungkan Izin Pembangunan Rumah Ibadah,Jurnal,  (Sumedang: Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2012), hlm. 13.
[18]Lihat butir-butir pancasila. Op.cit.
[19]Waluyadi, op.cit,. hlm. 23-25
[20] Data dari pelaporan KOMNAS HAM. Op.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar