* Tulisan ini dibuat ketika masih mahasiswa
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejak
awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pendiri negara
menyadari bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa
indonesia yang harus diakui, diterima, dan dihormati yang kemudian diwujudkan dalam semboyan
Bhineka Tunggal Ika.[1] memang
adalah sebuah realitas yang tak bisa ditolak bahwa indonesia adalah negara yang
sangat plural yang terdiri dari berbagai agama, suku, budaya dan bahasa.
Manifestasi adanya
pluralitas tersebut agar kiranya
setiap warga negara bebas menjaga dirinya sendiri, sesuai dengan pencarian dan
pilihannya, serta dapat menghargai dan menghormati perbedaan dengan orang lain.
didalam suatu negara hukum tentunya setiap negara
memiliki aturan hukum yang sudah
diatur dalam undang-undang
dan dituangkan kedalam Konstitusi sehingga
ia merupakan suatu
perjanjian masyarakat untuk mencapai keadilan yang menyeluruh bagi
semua warga Indonesia yang telah tertulis dalam
Konstitusi, sehingga jelas
bahwa masyarakat, negara dan
konstitusi mempunyai hubungan yang sangat erat.
Rumah ibadat merupakan bagian yang
sangat penting dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan
masing-masing setiap warga negara, oleh karenanya maka diperlukan suatu
regulasi hukum yang tepat. Dalam upaya mengatur prosedur pendirian Rumah Ibadat
tersebut, maka Pemerintah telah menerbitkan
kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
bab IV Tentang
Pendirian Rumah Ibadat
pada Pasal 14 menyebutkan syarat-syarat pendirian rumah
ibadah tersebut yaitu[2]:
1)
Pendirian rumah
ibadat harus memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
2)
Selain memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
a.
daftar
nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan
puluh) orang yang
disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat
batas wilayah sebagalmana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); s
b.
dukungan masyarakat
setempat paling sedikit
60 (enam puluh)
orang yang disahkan oleh
lurah/kepala desa;
c.
rekomendasi
tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d.
rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
3)
Dalam
hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi
sedangkan persyaratan huruf
b belum terpenuhi,
pemerintah daerah berkewajiban
memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Pada prinsipnya kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 bahwa
tentang pendirian rumah ibadat adalah untuk
melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan
ajaran agama bagi pemeluk-perneluknya, dan untuk
memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk
dalam melaksanakan ajaran agamanya
dapat berlangsung dengan rukun, lancar, dan tertib. Namun
sangat disayangkan peraturan yang dibuat ternyata justru banyak menimbulkan
polemik atau pro-kontra ditengah
masyarakat, sehingga pemerintah harus benar-benar memberikan perhatian terhadap hal tersebut
karena ini akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Berangkat dari hal tersebut maka kami
selaku penyusun artikel ini ingin
menganalisis lebih dalam dimanakah letak perbedaan sudut pandang serta
alasan-alasannya baik dari persektif pro maupun kontra, dan apakah memang
regulasi/peraturan tentang
Pendirian Rumah Ibadat masih
sesuai dengan UUD 1945 sehingga tidak perlu untuk
dihapuskan, ataukah sebaliknya bertentangan dengan UUD 1945 sehingga perlu
untuk dihapuskan.
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang
diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
analisis dari perspektif PRO terhadap penghapusan peraturan pendirian rumah
ibadat?
2. Bagaimanakah
analisis dari perspektif KONTRA terhadap penghapusan peraturan pendirian rumah
ibadat?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisis Dari Perspektif PRO
Terhadap Penghapusan Peraturan Pendirian
Rumah Ibadat.
Untuk
pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis,
yuridis-normatif dan empiris kenapa PRO terhadap topik ini:
1. Kajian
teoritis –filosofis.
Secara teoritis para ahli hukum[3]
sependapat bahwa salah satu konsepsi
negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap terhadap HAM (Hak Asasi
Manusia) dan tentu ini juga sejalan konsepsi negara demokrasi dengan menganut
prinsip equal protection before
the law dimana negara dan
hukum harus melindungi warga
negaranya secara sama,
tanpa yang satu
dianak emaskan dan yang
lain di anaktirikan baik itu suku, budaya, ras dan
termasuk agama karena ini adalah bentuk
persamaan kedudukan di antara
warga negara. Indonesia adalah
juga termasuk negara demokrasi dan negara hukum (democracy and Nomocracy) sangat menjunjung tinggi tentang HAM sebagaimana
yang dituangkan dalam konstitusi[4].
Dalam ilmu hukum kita tidak hanya melihat dari segi
sumber hukum formal tetapi juga hukum materil, secara filosofi pancasila adalah
sumber hukum dalam arti secara materil yang tidak saja menjiwai, tetapi harus
dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan hukum di indonesia[5].
oleh karena itu hukum di indonesia haruslah berdasar pada pancasila yang juga
merupakan dasar dan ideologi negara sekaligus Modus vivendi (kepakatan leluhur) bangsa indonesia yang sulit atau
(mungkin) tidak bisa digantikan[6].
Sehingga Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
bab IV yang juga mengatur tentang Pendirian
Rumah Ibadat pada
Pasal 14 ayat (1) yang mengatur persyaratan
administratif dan ayat (2) persyaratan khusus meliputi daftar KTP pengguna
rumah minimal 90 orang dan 60 orang dukungan masyarakat setempat [7]
secara tidak langsung mengandung unsur diskriminatif, tehadap kaum umat
minoritas diwilayah tertentu di Indonesia. Karena Secara filosofis, Tentu hal
ini bertentangan dengan pancasila[8]:
Pancasila sila pertama(1) Ketuhanan Yang Maha
Esa, pada butir ke-6 yang mengatakan: mengembangkan sikap saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, Sila
kedua (2) menagatakan: Mengakaui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban
hak asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan, suku, agama, kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
Jika peraturan tersebut diabiarkan maka jangan
sampai ini akan menganggu persatuan dan kesatuan bangsa sesuai sila ketiga(3)
pancasila yaitu persatuan indonesia karena tidak adanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat indonesia sesuai sila kelima(5), padahal Soekarno mengatakan
bahwa: pancasila adalah satu alat
mempersatu yang saya yakin seyakin-yakinya bangsa indonesia dari Sabang sampai
Merauke hanyalah dapat bersatu padu diatas dasar pancasila itu[9].Oleh
karena itu ditinjau dari kajian teoritis-filosofis diatas maka sangat urgen
untuk dihapus peraturan pemerintah tentang pendirian rumah ibadat saat ini.
2. Kajian
yuridis-normatif
Secara yuridis normatif atau
dilihat dari persepktif sumber hukum formal[10],
terkait tentang topik pembahasan kita mengenai penghapusan peraturan tentang
pendirian rumah ibadat memiliki keterkaitan secara konstitusional mengenai HAM
yang sudah ditegaskan dalam UUD 1945. pasal 28 I ayat (2) Menyatakan:
Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasr apapun
dan berhak mendapatkan perlindunagan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
Dan
juga disebutkan dalam UUD 1945 padaPasal 29 ayat(2) yaitu:
“Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayaan itu.”
Dalam
Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusi(HAM) berbunyi:
(1)
Setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)
Negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dan dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (UU HAM) dijelaskan:
“Hak untuk
hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani, hak
beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan
hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas
dasar hukum yang
berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun.”
Dan juga dalam bagian II pasal 2
ayat 2 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2005 Tentang
Pengesahan International Covenanton
Economic, Social And Cultural rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial Dan Budaya) mengatakan:
“Negara Pihak
pada kovenan ini berjanji untuk menjaminbahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan
ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa,agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaanatau
sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.”
Dari
uraian diatas baik dilihat dari UUD 1945 , Undang-undang Nomor 39 tentang HAM
dan juga Undang-Undang No. 11 tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenanton Economic, Social
And Cultural rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial
Dan Budaya), maka sudah jelas bahwa hak untuk beragama dan menjalankan ibadah
menurut kepercaayaan tersebut termasuk mendirikan rumah ibadat sudah mendapat
jaminan secara hukum, Tentunya
jaminan tersebut bukan
merupakan suatu yang
abstrak, tetapi merupakan sesuatu
yang absolut, sehingga
pada prakteknya perlu untuk ditegakkan.
Oleh karena itu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
bab IV Tentang
Pendirian Rumah Ibadat,
pada Pasal 14
ayat (1) yang mengatur persyaratan administratif dan ayat (2)
persyaratan khusus meliputi daftar KTP pengguna rumah minimal 90 orang dan 60
orang dukungan masyarakat setempat, sudah seyognya untuk dicabut karena dari
segi hirarki perundang-undangan[11] saja tidak termasuk, dan kalaupun
dipaksakan maka ini bertentangan dengan UUD 1945 dan perundang-undangan yang
lainnya. Sehingga peraturan tentang
pendirian rumah ibadat saat ini harus dihapuskan.
3.
Kajian empiris-soiologis
Bila kita lihat dewasa ini ternyata
fakta dimasyarakat sudah muncul sikap intoleransi dalam beragama, Menurut Komnas HAM[12], selama tahun 2012 dan 2013 saja , pengaduan
tentang peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan begitu
tinggi. Pada tahun
2012, tercatat 68
pengaduan dengan perincian:
perusakan dan penyegelan rumah
ibadah sebanyak 20 kasus, konflik dan sengketa internal 19 kasus, gangguan dan
pelarangan ibadah 17 kasus dan diskriminasi minoritas serta penghayat
kepercayaan 6 kasus. Pada tahun
2013 Komnas HAM menerima
39 berkas pengaduan.
Diskriminasi, pengancaman, dan
kekerasan terhadap pemeluk agama sebanyak 21 berkas, penyegelan,
perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah sebanyak 9 berkas dan
penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak 9 berkas.
Menganalisis fakta yang kemudian diperkuat
dengan data dari Komnas HAM diatas maka peraturan tentang pendirian rumah ibadat saat ini urgen untuk
dihapus dan diganti dengan produk undang-undang supaya pengaturannya harus
lebih jelas sehingga setidak-tidaknya bisa meminimalisasi sikap atau tindakan
diskriminatif ditengah masyarakat.
B.
Analisis
Dari Perspektif KONTRA Terhadap Penghapusan Peraturan tentang pendirian rumah
ibadat.
Untuk
pembahasan kali ini juga akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis,
yuridis-normatis dan empiris-sosiologis kenapa kontra terhadap topik ini:
1. Kajian
teoritis –filosofis.
Secara
teoritis dalam konsepsi Negara Hukum
adalah negara berlandaskan atas
hukum dan keadilan bagi warganya, dalam arti bahwa
segala sikap, tingkah laku dan perbuatan
baik dilakukan oleh
para penguasa atau
aparatur negara maupun dilakukan oleh
para warga negara harus berdasarkan atas hukum[13].
tentu ini juga sejalan dengan konsepsi negara demokrasi dengan menganut prinsip
equal protection before
the law dimana negara
menyamakan persamaan derajat tanpa membedakan suku, budaya, ras dan Agama.
Dalam
ilmu hukum kita mengenal sumber hukum materil dan sumber hukum formal[14],
sumber hukum materil salah satunya meliputi dalam arti filsafat yang mengenal
hakekat hukum secara filsafat seperti yang dikatakan oleh Plato dan Aristoteles
yang memandang bahwa hukum adalah cinta akan kebijaksanaan dan keadilan[15].
secara filosofi pancasila adalah sumber hukum dalam arti secara materil yang
tidak saja menjiwai, tetapi harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam
setiap peraturan hukum diindonesia[16].
Jika dilihat
dari perspektif Pemerintah,
dapat dipahami bahwa mengapa
Pemerintah mencoba membuat
suatu pengaturan terkait
dengan pembangunan Rumah Ibadah
melalui PBM pendirian
Rumah Ibadat Tahun 2006, yaitu
untuk menjaga ketertiban
umum, mengingat Negara Indonesia adalah negara
yang plural yang
memiliki berbagai agama
dan kepercayaan. Pada dasarnya ketentuan PBM ini adalah prosedur
administratif, yang berarti sepanjang
aturan dipenuhi seyogyanya tidak akan menimbulkan konflik pengaturan tentang
izin pembangunan rumah
ibadat ini dalam konteks
HAM pada dasarnya
diperkenankan sepanjang untuk
mencegah kekacauan publik[17].
Karena Secara filosofis Tentu hal ini masih sejalan dengan pancasila[18].
pancasila sila
pertama(1) Ketuhanan yang Maha Esa, pada butir ketiga (3) yang mengatakan:
mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan
penganut kepercayaan yang berbeda terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan butir ke
empat(4) yang mengatakan: Membina kerukunan hidup sesama ummat beragama dan
berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu ditinjau dari
kajian teoritis-filosofis diatas maka peraturan pemerintah tentang pendirian
rumah ibadat saat ini tidak perlu dihapuskan karena masih sesuai dengan
nilai-nilai pancasila.
2. Kajian
yuridis-normatif
Secara yuridis-normatif atau dilihat
dari persepktif sumber hukum formal[19],
terkait tentang topik pembahasan kita mengenai pengahpusan peraturan tentang
pendirian rumah ibadat memiliki keterkaitan secara konstitusional yang sudah
ditegaskan dalam UUD 1945. pasal 28 J ayat (2) Menyatakan:
Dalam
hal menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan
yang telah yang ditetapkan oleh undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nialai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Dan
juga disebutkan dalam UUD 1945 padaPasal 29 ayat(2) yaitu:
“Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayaan itu.”
Dalam
Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang HAM ( Hak Asasi Manusia) Nomor 39 Tahun
1999 berbunyi:
(1)
Setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)
Negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Dengan adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Tentang
Pendirian Rumah Ibadat justru diharapkan benar-benar akan menjamin
kemerdekaan dalam memeluk agama dan menjalankan kepercayaanya itu secara tertib
rukun dan damai, Dengan berdasar
kepada UUD 1945 dan pancasila, sehingga tercapai hakikat tujuan dari hukum itu
sendiri yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan, sehingga peraturan Tentang Pendirian
Rumah Ibadah tidak perlu
dihapuskan.
3.
Kajian empiris-soiologis
Bila kita lihat dewasa ini ternyata
fakta dimasyarakat sudah muncul sikap intoleransi dalam beragama, Menurut Komnas HAM[20], selama tahun 2012 dan 2013 saja , pengaduan
tentang peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan begitu
tinggi. Pada tahun
2012, tercatat 68
pengaduan dengan perincian:
perusakan dan penyegelan rumah
ibadah sebanyak 20 kasus, konflik dan sengketa internal 19 kasus, gangguan dan
pelarangan ibadah 17 kasus dan diskriminasi minoritas serta penghayat
kepercayaan 6 kasus. Pada tahun
2013 Komnas HAM menerima
39 berkas pengaduan.
Diskriminasi, pengancaman, dan
kekerasan terhadap pemeluk agama sebanyak 21 berkas, penyegelan,
perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadat sebanyak 9 berkas dan
penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak 9 berkas.
Menganalisis fakta yang kemudian diperkuat
dengan data dari Komnas HAM diatas sebenarnya memang datanya sama seperti data
dari persektif Pro, namun dari perspektif Kontra melihat dari sudut pandang
yang berbeda dan ternyata peraturan tentang
pendirian rumah ibadat saat ini tidak perlu untuk dihapuskan, karena
sedangkan peraturannya saja sudah ada masih banyak perlakuan atau tindakan yang
tidak kita inginkan, apalagi jika peraturan yang ada saat ini dihapuskan justru
ini akan membuat dimasyarakat akan tambah kacau, sehingga akan merenggankan
persatuan dan kesatuan bangsa.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Setelah melihat analisis dari
persektif pro maupun kontra terhadap topik penghapusan peraturan pemerintah pendirian
rumah ibadat dengan masing-masing menggunakan pendekatan kajian
teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis maka kami
menarik kesimpulan bahwa polemik pro maupun kontra terkait dengan topik ini
ternyata hanya terletak pada sudut pandang yang berbeda dalam menginterpretasikan
atau menafsirkan pendekatan yang dipakai baik melalui kajian
teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis namun pada
hakikatnya memiliki maksud dan tujuan yang sama untuk tidak adanya
diskriminatif atau tindakan lain yang tidak diinginkan sehingga tercipta rasa
aman, rukun dan damai dalam memeluk agama dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu. Oleh karena itu kami merekomendasikan yaitu:
1. Pembuatan
Undang-Undang Tentang Kerukunan Umat Bergama
Dengan adanya produk hukum yang jelas dalam bentuk
undang-undang maka ini akan memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dari
hukum itu sendiri dan tentu sejalan dengan aliran dan mazhab seperti: Aliran hukum alam, aliran
historical juridispurdence, aliran positivisme hukum, aliran sosiological dan
antropogical, aliran utilitarianism dan yang pasti pancasila dan UUD 1945.
2. Pembuatan
Lembaga Negara Tentang Kerukunan Umat Beragama.
Pembuatan lembaga negara ini
dibentuk saja melalui undang-undang, apakah dalam bentuk komisi ataupun yang
lainnya. Sehingga lembaga ini nantinya memang fokus pada pembinaan umat
beragama, dengan demikian ini diharapkan akan lebih terciptannya kerukunan,
kedamaian dan terciptanya harmonisasi dalam perbedaan agama di indonesia. Tentu
ini akan lebih memperkuat keutuhan bangsa dan negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-buku:
Asshiddiqie,
Jimly., pengantar ilmu hukm tata negara.(Jakarta:
PT. RAJAGARFINDO PERASADA,2013).
Hakim,
Abdul Aziz., Negara Hukum dan Demokrasi
Indonesi,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012),
Latif,
Yudi., NEGARA PARIPURNA Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas PANCASILA. (Jakarta: PT.Gramedia, 2011).
Mahfud
Md, Moh. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.(Jakarta:
PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2, 2011).
M
Gaffar,Janedjri., Demokrasi dan Pemilu di Indonesia. (Jakarta: Konstitusi
Press, 2013).
S.H,
Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam
Perspektif Hukum Positif. (Jakarta: Djambatan,2001).
Tim Kerja Sosialisasi
MPR periode 2009-2014, dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa dan Negara, (jakarta: Sekretariat jenderal MPR RI,2012).
Perundang-undangan:
________Pancasila
________Undang-Undang
Dasar 1945.
________
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
[1] Pimpinan
MPR dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa
dan Negara, (jakarta:Sekretariat jenderal MPR RI,2012). hlm.15
[2] Peraturan Bersama Menteri
Agama Dan Menteri Dalam Negeri
No. 9 Dan 8 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat.
[3] Julius Stahl(Perlindungan terhadap HAM), A.V. Dicey
(Equality before the law.), Arief
Sidharta, Scheltema (Pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan
Hak Asasi Manusia yang
berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity). Dan
Jimly Asshiddiqi e(perlindungan terhadap HAM) serta pakar yang lainnya.
[4] Istilah
konstitusi sering digunakan dalam maksud yang sama dalam UUD,meskipun secara
teoritis cakupan arti konstitusi lebih luas daripada arti UUD. Lihat pasal 1
ayat 2 dan 3 UUD 1945(Negara indonesia adalah berkedaulatan rakyat/demikrasi
dan negara hukum)
[5] Jimly
asshiddiqie, pengantar ilmu hukm tata
negara.(Jakarta: PT. RAJAGARFINDO PERASADA,2013). hlm. 159.
[6]
Moh. Mahfud Md, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi.(Jakarta: PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2,
2011).hlm.5.
[7] Peraturan Bersama Menteri
Agama Dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 Dan 8 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat. Op.cit.
[8]
Lihat butir-butir pancasila.
[9] Yudi
Latif, NEGARA PARIPURNA Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas PANCASILA. (Jakarta: PT.Gramedia, 2011).
hlm.1.
[10]Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum
Positif.(Jakarta:Djambatan,2001)hlm.23
[11]Lihat
Pasal 7 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
tata urutan peraturan perundang-undangan mulai dari yang tertinggi sampai yang
terendah berturut-turut.
[12]Data
dari pelaporan KOMNAS HAM.
[13]Abdul
Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi Indonesi,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2012), hlm.8.
[14]
Waluyadi, op.cit,. hlm. 23-25
[15]
Waluyadi , ibid. hlm. 36.
[16]
Jimly asshiddiqie, op.cit,. hlm. 159.
[17]Nela
Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan
Beragama Di Indonesia (External Freedom) Dihubungkan Izin Pembangunan Rumah
Ibadah,Jurnal, (Sumedang: Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran, 2012), hlm. 13.
[18]Lihat
butir-butir pancasila. Op.cit.
[19]Waluyadi,
op.cit,. hlm. 23-25
[20]
Data dari pelaporan KOMNAS HAM. Op.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar