Rabu, 26 Desember 2018

SEKOLAH ALAM: Dari Pesisir Untuk Indonesia


[ Oleh: Sirajuddin Raju, S.H. ]
 
Gambar ini adalah Logo Sekolah Alam
Indonesia adalah salah satu negara  besar yang menempati urutan ke empat dengan populasi terbanyak di dunia. Hal tersebut adalah sebuah potensi sekaligus menjadi tantangan tersendiri kedepannya karena jika sumber daya manusia tersebut tidak dikelolah dan dipersiapkan dengan baik akan menjadi  bumerang. Arus kemajuan teknologi di era millenial adalah salah satu tantangan besar yang tidak bisa lagi dihindarkan. Pola komunikasi hampir disegala sektor hampir dipastikan tidak ada lagi batas-batas teritorial antar negara. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan orang-orang tepat yang merata disegala sektor dalam menjawab tantangan tersebut untuk sekarang dan yang akan datang.

Kekayaan alam Indonesia adalah potensi dan kekuatan untuk menuju negara maju. Akan tetapi, apakah hal tersebut cukup? Tentu tidak. Kekayaan sumber daya alam tak berarti apa-apa tanpa di dukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas sebagai sumber motor penggerak dalam mengelolah kekayaan tersebut. Kesadaran akan hal itu mendorong pemerintah hadir atas nama negara dengan segala ikhtiarnya  untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melaui pendidikan. Jalur pendidikan adalah salah satu jalan ikhtiar yang telah  dan sedang dilakukan sampai saat ini, meskipun bisa dikatakan masih menemui jalan buntuh atau nihil. Yah, Hampir satu abad proklamasi telah dikumandangkan oleh para pendiri bangsa, namun kemajuan bangsa seperti jalan ditempat. Apakah yang sesungguhnya terjadi ?

Potret realitas pendidikan sebagai pilihan pengembangan sumber daya manusia masih menjadi sebuah  prolematika hampir diseluruh pelosok negeri masih sangat memperhatikan, mulai dari sarana prasarana, kurikulum dan tenaga pengajar. Kondisi tersebut tentu akan sangat mempengaruhi kualitas output siswa itu sendiri. Lantas siapakah yang paling bersalah pada persoaln ini? Menghujat pemerintah sebagai perwakilan negara yang paling bertanggungjawab ada benarnya. Akan tetapi, tentu tak cukup bila kita hanya selalu berlaku sebagai komentator. Lantas apakah kontribusi yang bisa kita berikan untuk ibu pertiwi?

Dalam kondisi tersebut seluruh komponen bangsa tentu harus terlibat turun tangan mengambil peran untuk bisa memujudkan cita-cita keindonesiaan. Jargon “Menuju Indonesia EMAS 2045”  yang di lontarkan oleh pemerintah adalah salah satu stimulus untuk mendorong dan mempersiapkan generasi muda saat ini dalam menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka.

Kesadaran akan tanggung jawab moril sebagai generasi muda tentu mendukung penuh gagasan tersebut untuk Indonesia yang bermartabat. Persatuan Pemuda Mangindara [PPM] di daratan pesisir desa Mangindara, kecamatan Galesong selatan, kabupaten Takalar, Sulawesi selatan adalah satu dari sekian banyak kelompok pemuda Indonesia yang ingin mewakafkan dirinya untuk ibu pertiwi. Sekitar bulan juli tahun 2017 para kelompok pemuda desa tersebut menggagas sebuah komunitas sekolah nonformal yang diberi nama “SEKOLAH ALAM” dengan semboyang “Alam adalah sekolahku, semua orang adalah guruku”. Sekolah tersebut adalah salah satu gagasan konkrit pemuda desa yang menembus batas-batas  formalitas untuk Sharing knowledge kepada anak-anak pesisir khususnya di Takalar.

Kekakuan sekolah formal dalam proses pembelajaran dikelas dan sistem yang kadang terlalu berbelit-belit  mempengaruhi  proses pembelajaran anak-anak secara tidak langsung. Meskipun Sekolah Alam ini memiliki kurikulum tersendiri sebagai acuan atau katakanlah standar pembelajaran yang digunakan, akan tetapi kita desain lebih fleksibel dan sesuai kebutuhan anak-anak pesisir. Yah, namanya juga Sekolah Alam kelasnya outdoor dengan menggunakan taman, pinggir pantai atau sejenisnya dengan beratapkan langit. Tetapi  dalam keadaan mendesak seperti hujan kami arahkan pembelajarannya di dalam masjid. Metode pembelajaran persuasif dengan cara bermain dan outdoor tidak hanya membuat anak-anak senang dalam belajar, tetapi juga membuatnya lebih peka dan dekat dangan alam sekitar.

Siswa-siswa Sekolah Alam hanya kita fokuskan ke anak-anak sekolah dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara mata pelajaran yang ditawarkan ke anak-anak beranekaragam yang sesuai dengan kebutuhan mereka seperti matematika, pendidikan kewarganegaraan, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, agama dan bahasa  inggris. Untuk Pelajaran Matematika kami mengajarkan yang sangat dasar seperti perhitungan, pengurangan, perkalihan dan pembagian karena pada bagian ini anak-anak yang masih kelas V sekolah dasar kebawah. Sementara pelajaran bahasa inggris dan lainnya lebih kita fokuskan ke siswa SMP, meskipun kita tetap mengajarkan bahasa inggris ke sekolah dasar pada hal yang lebih mendasar.

Proses pembelajaran dilakukan dari hari kamis-minggu dengan pembagian satu hari untuk setiap dusunnya. Kelas dibuka dari jam 1 siang sampai  jam 3 atau menjeleng ashar. Demi melibatkan semua pihak khususnya para pemuda, maka mereka turut andil sebagai konseptor sekaligus eksekutor. Para pemuda yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA merembuk untuk merumuskan gagasan atau konsep metode pembelajaran yang  efektif yang diterapkan di Sekolah Alam. Tidak sampai disitu, mereka kemudian terlibat secara penuh sebagai team pengajar bersama anak-anak pesisir. Keterlibatan tersebut adalah sebuah potensi besar dalam melatih empati dan kepedulian sosial mereka sedinih mungkin bahwa kemajuan sumber daya manusia harus ada sinergitas dan kerjasama untuk mendorong terciptanya generasi emas harapan bangsa.

Untuk mata palajaran sekolah dasar kebanyakan diambil alih oleh pelajar SMA yang akan fokus untuk pembelajaran dasar, sementara untuk yang SMP mata pelajarannya lebih variatif  di berikan tanggungjawab ke mahasiswa yang  juga adalah anak pesisir. Ada sebuah harapan besar dari kami bahwa apa yang mereka dapatkan di Sekolah Alam akan mendukung proses pembelajaran mereka di sekolah formal.

Untuk membuat sekolah ini lebih seksi untuk anak-anak dan mendapatkan dukungan dari orang tua secara penuh,maka tentu bukan hanya proses atau aktifitas pembelajaran yang kami lakukan. Tetapi kami juga mendorong kegaiatan-kegaiatan lain yang memiliki nilai edukasi dan kepekaan sosial yang tinggi terhadap alam dan sesama. Bebarapa bulan yang lalu misalnya, tepatnya pada bulan maret tahun 2018 Sekolah Alam melaksanakan kegiatan penanaman pohon di desa Mangindara dan Ballaparang, kecamatan Galesong selatan Kabupaten Takalar, Sulawesi selatan. Kami melibatkan banyak pihak demi kesuksesan kegaiatan tersebut mulai dari bekerjasama dengan masyarakat pesisir samapi ke dinas pertanian daerah untuk persedian bibit tanaman. Alhamdulillah, kegaiatan tersebut di hadiri langsung oleh bapak wakil bupati Takalar. Ada banyak hikma dalam acara tersebut karena tidak hanya menanamkan kesadaran lingkungan untuk anak-anak, tetapi juga menyadarkan pemerintah setempat yang harus lebih pro aktif lagi untuk lebih menjaga alam.

Kepedulian Sekolah Alam  untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia kembali di jewantahkan dalam kegiatan konkrit yang bertajuk “Talkshow Beasiswa Unggulan” se kabupaten Takalar beberapa bulan kemudian.  Kegiatan tersebut bekerjasama dengan Forum Penerima Beasiswa Unggulan Indonesia Timur dan DIASPORA kabupaten Takalar yang di hadiri oleh ratusan mahasiswa dan pelajar Takalar. Ada sebuah harapan besar bahwa beasiswa ini bisa lebih dikenal masyarakat luas khususnya di Takalar dan tentu lebih tepat sasaran. Hal tersebut semakin membuka kesempatan besar bagi masyarakat luas untuk bisa melanjutkan jenjang pendidikannya dan meningkatkan kapasitas diri menjadi lebih baik.

Sebenarnya pada bulan pertama pembentukan Sekolah Alam ini hanya di dua dusun yaitu dusun Mangindara dan Bontoa dengan siswa sekitar 60 orang lebih. Keberhasilan pembelajaran di dua dusun ini menjadi stimulus atau  pemantik sehinga mengundang animo anak-anak pesisir lainnya di dusun dan desa tetangga untuk mengikuti kegiatan yang sama. Alhamdulillah, beberapa  bulan kemudian kami memperlebar sayap dengan membuka kelas baru di dusun Ballaparang dan desa Bontokassi. Alhasil, proses pembelajaran yang dilakukan di dusun ini berhasil dan anak-anak sangat aktif dalam belajar. Dalam waktu dekat akan terus memperlebar sayap dan semoga menjadi contoh untuk desa lainnya.

Meskipun  belum banyak piala yang diraih atas keberadaannya, Sekolah Alam tetap berusaha terus berbenah untuk melakukan yang terbaik dalam memberikan kontribusi kecil untuk negeri. Memang keberadaannya jika di ibarat manusia usia Sekolah Alam masih sangat belia. Yah, sementara belajar berbicara, berjalan dan mengenal orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, kehadirannya setidaknya menjadi pemantik ditengah degradasi kualitas sekolah formal yang kadang kalah membuat sekta-sekta bagi anak-anak untuk mengepresikan dirinya. Sehingga bukan mendukung talenta anak-anak, tetapi sebaliknya malah meneggelamkan bakat generasi pelanjut.

Luasnya wilayah Indonesia kadang-kadang kalah menjadi dalih sakti manraguna bahwa pemerintah yang mewakilkan diri atas nama negara belum sampai ke pelosok negeri karena keterbatasan ini dan itu, katanya. Ya sudahlah,  berlarut-larut dalam prustasi permasalahan ini bukalnlah solusi. Sesembari pemerintah membenahi sistem pendidikan kita untuk pengembangan sumber daya manusia, maka mari kita berbuat sesuatu yang bisa kita lakukan untuk ibu pertiwi.

Gelombang pasang persaingan globalisasi sudah tak bisa di hindarkan. Hal tersebut adalah peluang sekaligus tantangan untuk Indonesia. Kualitas manusianyalah yang akan menentukan arah perubahan itu. Tak ada waktu untuk saling menyalahkan, bergandengan tangan dengan seluruh komponen bangsa adalah kunci menjawab tantangan tersebut. Yah, berbuat sesuatu yang bisa kita lakukan, sekecil apapun itu. Maka kehadiran Sekolah Alam dari perwakilan daratan pesisir Desa Mangindara, Kecamatan galesong selatan, kabupaten Takalar dibagian timur Indonesia adalah sebuah gagasan langkah konkrit para pemuda yang terus mendorong sinergitas pengembangan sumber daya manusia. Indonesia emas 2045 adalah harga mati, Karena kita ada untuk Indonesia.

Jumat, 23 November 2018

RIWAYAT SINGKAT

Professional Lawyer
Sirajuddin Raju, S.H.
(Associate  Lawyer At Prihatwono Law Firm). 

SIRAJUDDIN sering disapa Daeng Raju adalah anak pesisir kelahiran Desa Mangindara, Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada tanggal 30 April 1994. Sebagai anak nelayan dari kampung, dia sudah sering diterpa oleh gelombang dan badai akan pahit dan kerasnya kehidupan. Hal itulah yang membuatnya terbentuk secara alamiah dalam memegang prinsip hidup dan kehidupannya untuk bertarung dalam segala situasi demi mengejar mimpi dan cita-citanya. "Tak ada pelaut ulung lahir dari gelombang tenang", katanya.

Pendidikannya dari sekolah dasar hingga menengah atas di tempuh di tanah kelahirannya Sulawesi Selatan. SDN No. 83 Mangindara [Takalar],  SMPN 02 Bontonompo selatan [Gowa], SMAN 3 Takalar. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan anak kampung pesisir, akan tetapi dia memiliki impian besar untuk bisa berbuat sesuatu untuk sesama dan negerinya. "Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat untuk sesamanya". Motto itulah yang selalu dia pegang sebagai ragi semangat dalam menuntut ilmu pada setiap orang dan di segala tempat, tak terbatas pada sekolah formal. Bahkan, ketika ditanya dalam setiap kesempatan tentang cita-citanya, dia selalu menjawab ingin menjadi Presiden. Mungkin bagi sebagian orang itu adalah lucu, tapi mungkin anda tak akan percaya bahwa motivasi itulah yang membuatnya merasakan peringkat I (Ranking Pertama) di setiap jenjang pendidikannya.

Setalah menyelesaikan Sekolah SMA di tanah kelahirannya, dia kemudian berhijrah ke kota Manado untuk  menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri, tepatnya di Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi di tahun 2012. Bisa duduk di bangku kuliah dan merantau bukan sebuah perkara yang mudah bagi dirinya, sampai di berhasil membiayai kuliahnya sendiri dengan mendapatkan beasiswa dari Kalla Foundation dan Kementrian pendidikan dan kebudayaan melalui program Beasiswa Bidik Misi. Untuk menunjang finansial untuk kuliahnya dia juga selalu dapat mencuri waktu untuk bekerja di Warung makan dan Coto Makassar di Manado untuk bisa mengirimkan sedikit uang untuk orang tuanya di kampung.

Selain kuliah, dia tetap aktif di organisasi ekstra dan intra kampus untuk pengembangan dirinya. Sebelum di amanahkan menjadi Wakil Direktur Penelitian Hukum, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam [LKBHMI PB HMI, 2018-2020]. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Umum, Badan Perwakilan Mahasiswa [BPM FH UNSRAT, 2014-2015]. Sebelum mengakhiri kuliahnya, dia sempat menjadi Founder dan Ketua Umum, Lembaga Debat Hukum & Konstitusi [LDHK FH UNSRAT, 2015-2016].  Aktif di organisasi bukan berarti tanpa prestasi, di tahun 2015 dia terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi FH UNSRAT karena beberapa kali mengharumkan almamater, baik di tingkat lokal, regional dan nasional pada kegiatan Debat Konstitusi yang di selenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi RI dan Peradilan Semu Nasional yang dislenggarakan oleh Mahkamah Agung RI dan Asian Law Students Association [ALSA], di ALSA dia juga pernah dipercaya menjadi Manager of Law Department. Dia selalu meyakini bahwa do'a, usaha dan memantaskan diri adalah kunci yang membuat semuanya nothing impossible karena dengan itu, maka  Tuhan dan Semesta  akan Mendukung [MESTAKUNG].

Saat ini, kembali bertarung untuk menaklukkan dirinya di kerasnya arus kehidupan Ibu Kota Jakarta di dunia professional sebagai Associate Lawyer di Prihatwono Law Firm. Proses yang telah menerpanya selama ini adalah modal besar untuk menjadi Keep Fighter. Sebelum menetapkan diri menikah, saat ini sedang mangatur ritme dan strategi untuk melanjutkan studinya di negari Belanda, dia sudah persiapkan setahun lebih untuk itu. Meskipun bekerja di dunia Profesional, dia tetap aktif menulis dan menjadi narasumber/pembicara/pemantik di kegaiatan-kegiatan nasional.

Contact Person:
-Handphone/ WA  : 085282700636
-Facebook            : Sirajuddin Raju
-LinkedIn             : Sirajuddin raju
-Instagram            : daeng.raju
-e-mail                  : sirajuddin.raju99@gamail.com/sirajuddin@prihatwono.co.id

Selasa, 23 Oktober 2018

PRO KONTRA PRESIDENTIAL THRESHOLD DALAM PEMILU SERENTAK 2019


Oleh : Sirajuddin Raju, S.H.
*Tulisan ini dibuat ketika masih mahasiswa

BAB I
PENDAHULUAN

       A.    Latar Belakang Masalah
UUD tahun 1945[1] Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, ini menjelaskan bahwa negara Indonesia yang menempatkan rakyatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara adalah merupakan refleksi dari hakikat demokrasi. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,  bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara[2].
Wujud implementasi kedaulatan rakyat atau demokrasi dapat kita lihat dalam pemilihan umum. Seperti yang dikemukakan oleh Sri Soemantri bahwa, pemilihan umum yang bebas merupakan syarat mutlak bagi berlakunya demokrasi[3]. Pemilihan umum yang dimaksudkan adalah untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[4].
Kekuasaan pemerintahan negara yang dipegang oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai kekuasaan eksekutif memiliki peran penting dalam mewujudkan cita-cita negara Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat melalui partai politik atau gabungan partai politik dalam proses pemilihan umum haruslah dibuat mekanisme yang tepat.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah regulasi atau sistem yang seharusnya efektif untuk mengatur proses penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, ambang batas atau lazim dikenal dengan istilah Presidential Threshold pada pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa :
“Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden[5].”

Pasal tersebut menimbulkan polemik atau pro-kontra di tengah masyarakat ditambah dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013 mengenai pemilihan umum (pemilu legislatif dengan presiden dan wakil presiden) dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 dan seterusnya[6].
Berangkat dari hal tersebut maka kami selaku penyusun artikel ini ingin manganalisis lebih dalam dimanakah letak perbedaan sudut pandang serta alasan-alasan baik dari prespektif pro maupun kontra, dan apakah memang regulasi atau pengaturan tentang presidential thershold masih sesuai dengan UUD 1945 sehingga perlu untuk dipakai dalam pemilu serentak pada tahun 2019, ataukah sebaliknya bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak dapat diterapkan pada pemilu serentak tahun 2019.

     B.     Rumusan Masalah
     Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah analisis dari prespektif PRO terhadap Presidential Thershold pada Pemilu Serentak 2019?
  2. Bagaimanakah analisis dari prespektif KONTRA terhadap Presidential Thershold pada Pemilu Serentak 2019?

BAB II
PEMBAHASAN

    A.    Analisis perspektif Pro terhadap Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019
Untuk pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatif dan empiris-sosiologis kenapa PRO terhadap topik ini:
1.        Kajian Teoritis-Filosofis
Secara teoritis, seperti yang dikatakan oleh pakar politik Giovanni Sartorum Arrendt Lijphart, dan Scott Mainwaring, menganjurkan bahwa dalam sistem presidensil agar tercipta pemerintahan yang kongruen (eksekutif dan legislatif) maka salah satu jalannya adalah dengan pemilu serentak.
Ambang batas atau dikenal dengan presidential threshold dalam pemilu serentak pada hakikatnya bukan untuk membatasi hak konstitusional dari setiap warga negara yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019. Namun, syarat pengusulan tersebut semata-mata untuk menyederhanakan sistem multi partai yang seharusnya kompatibel dengan sistem pemilu. Kedua sistem tersebut harus saling menopang sebagai satu kesatuan sistem, Sehingga tercapai harmonisasi antara maksud dan tujuannya untuk menyokong efektifitas sistem pemerintahan presidensial.[7]
Ambang batas sangat efektif diterapkan pada pemilu serentak tahun 2019. Karena, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden memungkinkan untuk dilaksanakan dalam satu putaran sehingga dapat menghemat anggaran pada pemilihan umum nanti.
Oleh karena itu ditinjau dari kajian teoritis-filosofis diatas maka sangat penting untuk mempertahankan presidential threshold dalam pemilihan serentak 2019.

2.        Kajian yuridis-normatif
Secara yuridis normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[8], terkait tentang topik pembahasan kita mengenai Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019 memiliki keterkaitan secara konstitusional sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 pada pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) menyatakan :
(2)   Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(3)   Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik
Berdasarkan pemahaman konstitusional di atas pada pasal 22E ayat (2) dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, maka pemilu serentak harus dilaksanakan pada tahun 2019. Dalam hal pengusulan Presiden dan Wakil Presiden  ditegaskan pada pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi :
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”
Lebih lanjut pada pasal 9 dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang menyebutkan :
Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Berdasarkan pemahaman dari penjabaran pasal-pasal di atas, ambang batas atau presidential threshold pada dasarnya tidak membatasi hak konstitusional setiap warga negara untuk diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, karena pada pasal 6A ayat (2) UUD 1945 di atas memberikan ruang kepada setiap partai politik untuk dapat mengusulkan atau bergabung dengan partai politik peserta pemilihan umum dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga, Presidential threshold dalam pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 konstitusional.
Kekhawatiran terhadap dasar penentuan ambang batas Presiden pada pemilu yang akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 dapat ditangani dengan mengambil acuan pada hasil pemilu legislatif tahun 2014. Walaupun tidak dilaksanakan serentak, pemilu tahun 2014 tetaplah pemilihan umum. Oleh karena itu, penggunaan ambang batas dalam pemilu serentak tahun 2019 tetap dapat dilaksanakan. Begitu juga pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024, dapat mengambil acuan pada hasil pemilihan legislatif tahun 2019.
3.      Empiris-sosiologis
Secara empiris-sosiologis kita melihat fakta dan realitas yang terjadi pada  hasil perolehan suara pemilu legislatif pada tahun 2014[9] yaitu:
1)      PartaiNasdem 8.402.812 (6,72 persen)
2)      PartaiKebangkitanBangsa 11.298.957 (9,04 persen)
3)      PartaiKeadilan Sejahtera 8.480.204 (6,79 persen)
4)      PartaiDemokrasi Indonesia Perjuangan 23.681.471 (18,95 persen)
5)      Partai Golkar 18.432.312 (14,75 persen)
6)      PartaiGerindra 14.760.371 (11,81 persen)
7)      PartaiDemokrat 12.728.913 (10,19 persen)
8)      PartaiAmanatNasional 9.481.621 (7,59 persen)
9)      PartaiPersatuan Pembangunan 8.157.488 (6,53 persen)
10)  PartaiHanura 6.579.498 (5,26 persen)
11)  PartaiBulanBintang 1.825.750 (1,46 persen)
12)  PartaiKeadilandanPersatuan Indonesia 1.143.094 (0,91 persen)
Apabila kita melihat data di atas, maka semua partai politik yang  tidak memenuhi ambang batas tidak dibatasi hak konstitusionalnya untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden dengan cara bergabung atau berkoalisi. Contohnya pada pemilu 2014 yang masih dapat mengusulkan Presiden dan Wakil Presiden dengan komposisi sebagai berikut:
1)        Prabowo Subianto dan M. Hatta Rajasa (partai pengusung: partai gerindra, partai amanat nasional, partai keadilan sejahtera, partai golongan karya, partai persatuan pembangunan, partai bulan bintang).
2)        Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla (partai pengusung: PDI perjuangan, nasdem, partai kebangkitan bangsa, Hanura).

Oleh karena itu, presidential threshold dalam pemilu serentak tahun 2019 tetap harus dilaksanakan sebagaimana perintah undang-undang.

      B.     Analisis perspektif Kontra terhadap Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019
Untuk pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatis dan empiris-sosiologis kenapa kontra terhadap topik ini:
1.        Kajian teoritis –filosofis
Secara teoritis, menurut Harun Alrasid, kedudukan lembaga Presiden merupakan kedudukan yang paling sentral dalam sebuah sistem pemerintahan republik.[10] Mengingat Indonesia adalah negara yang menempatkan rakyatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, maka untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum berdasarkan kedaulatan rakyat harus dilaksaakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarrkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Hadirnya Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 salah satunya bertujuan untuk mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang demokratis, seharusnya tidak boleh bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Pembatasan terhadap hak-hak warga negara untuk dapat dipilih dan memilih seperti yang terdapat pada pasal 9 Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden jelas bertentangan dengan konstitusi.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa penerapan ambang batas bagi setiap partai politik yang ingin mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden jelas dibatasi oleh pasal tersebut. Rakyat yang memiliki kebebasan memilih sesuai dengan kehendak atau keinginan mereka masing-masing, dipangkas haknya, karena tidak semua partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan calonnya.
Oleh karena itu, Agar demokrasi dapat berjalan sesuai apa yang tercermin dari  rasa keadilan masyarakat, dan agar hak-hak warga negara untuk memperoleh kedudukan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi melalui proses politik khususnya pemilu dapat terjamin, maka ambang batas atau presidential threshold yang tercantum pada pasal 9 Undang-undang nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus dihapuskan
.
2.      Kajian yuridis-normatif
Secara yuridis-normatif atau dilihat dari persepktif sumber hukum formal[11], terkait tentang topik pembahasan kita mengenai Presidential Threshold dalam Pemilu Serentak 2019 memiliki keterkaitan secara konstitusional khususnya dalam hal pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum, seperti yang terdapat pada pasal 22E ayat (2) yang berbunyi : “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 Lebih lanjut dalam pasal 6A ayat (1) dan (2) yang menegaskan :
(1)   Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat
(2)   Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum
Penafsiran gramatikal dan tekstual dari pasal  6A ayat (1) dan (2) di atas menjelaskan, bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagai hukum tertinggi di negeri ini (the supreme law of the the land), ketentuan UUD 1945 di atas jelas memberikan hak yang sama dan setara kepada seluruh partai politik untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Lebih lanjut dalam pasal 23D ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan : “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”
Apabila kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terlebih khusus yang terdapat pada pasal 9, menyatakan :
“Pasangan calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden[12].”
Ketentuan di atas dengan terang memberikan pengecualian dan batasan terhadap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut jelas bertentangan konstitusi sebagaimana disebutkan di sebelumnya, dan juga dengan pasal 23C ayat (2), yang berbunyi : “Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”
Dengan penggunaan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, hak partisipasi dari rakyat untuk memilih calon presiden dan wakil presiden tentu tidak sepenuhnya tersalurkan, karena tidak semua partai politik bisa mengusung pasangan calonnya. Hal ini juga membatasi hak warga negara yang tergabung dalam partai politik untuk dapat dipilih dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Disamping itu, dengan menggunakan acuan presentase 20% kursi di parlemen dan 25% hasil pemilu legislatif, pada  pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 tidak dapat di jadikan tolak ukur. Karena pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diadakan bersamaan.
Oleh karena itu, penerapan ambang batas atau presidential threshold dalam pemilu serentak 2019 tidak dapat diberlakukan. 
3.        Kajian Empiris-Sosiologis
Secara empiris-sosiologis kita melihat fakta dan realitas yang terjadi pada  hasil perolehan suara pemilu legislatif pada tahun 2014[13] yaitu:
1)      Partai Nasdem 8.402.812 (6,72 persen)
2)      Partai Kebangkitan Bangsa 11.298.957 (9,04 persen)
3)      Partai Keadilan Sejahtera 8.480.204 (6,79 persen)
4)      Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 23.681.471 (18,95 persen)
5)      Partai Golkar 18.432.312 (14,75 persen)
6)      Partai Gerindra 14.760.371 (11,81 persen)
7)      Partai Demokrat 12.728.913 (10,19 persen)
8)      Partai AmanatNasional 9.481.621 (7,59 persen)
9)      Partai Persatuan Pembangunan 8.157.488 (6,53 persen)
10)  Partai Hanura 6.579.498 (5,26 persen)
11)  Partai BulanBintang 1.825.750 (1,46 persen)
12)  Partai KeadilandanPersatuan Indonesia 1.143.094 (0,91 persen)
Dari hasil perolehan suara di atas, menghasilkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut :
1.      Prabowo Subianto dan M. Hatta Rajasa (partai pengusung: partai gerindra, partai amanat nasional, partai keadilan sejahtera, partai golongan karya, partai persatuan pembangunan, partai bulan bintang).
2.      Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla (partai pengusung: PDI perjuangan, nasdem, partai kebangkitan bangsa, Hanura).
Dari data di atas, seharusnya setiap partai politik berhak mengusulkan satu pasang calon Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan amanat konstitusi. Namun, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Jika menerapkan ambang batas dalam pemilu serentak nanti dengan mengambil acuan hasil pemilu legislatif tahun 2014, sangatlah tidak logis. Sebab, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan legislatif dan juga kondisi politik pada tahun 2014 tidak sama dengan tahun 2019.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan analisis dari persektif pro maupun kontra terhadap topik Presidential Threshold dalam Pemilihan Serentak 2019, maka kami menarik kesimpulan bahwa, polemik pro maupun kontra terkait dengan topik ini ternyata hanya terletak pada sudut pandang yang berbeda dalam menginterpretasikan pendekatan yang dipakai baik melalui kajian teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis. Namun pada hakikatnya, maksud dan tujuan dari kedua pandangan di atas adalah sama yakni agar tidak ada hak-hak konstitusional warga negara yang dilanggar Sehingga, hak partisipatif setiap warga negara untuk dapat memilih ataupun dipilih dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis dapat tercipta. Oleh karena itu, untuk bisa mengakomodir kedua pandangan tersebut, kami selaku penyusun artikel ini memberikan saran atau rekomendasi sebagai berikut :
1.         Revisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Undang-undang ini harus memuat aturan bagaimana mekanisme pemilu serentak tahun 2019 dan seterusnya. Agar, tidak ada warga negara ataupun partai politik yang dilanggar hak-hak konstitusionalnya.
2.      Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik
Merevisi undang-undang ini adalah untuk lebih memperketat verifikasi pembentukan partai politik agar dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa melanggar hak-hak warga negara.
3.         Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu
Dalam undang-undang ini harus ada harmonisasi pengaturan yang jelas terhadap Undang-undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan Undang-undang Partai Politik yang telah dilakukan revisi.



DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983)
Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi, Gramata Publishing, 2014)
Asshiddiqie Jimly, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi,(Jakarta: Sinar Grafika,2011)
S.H, Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif.(Jakarta:Djambatan,2001).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta:Kepaniteraan dan Sekertariat Jenderal Mahakamah Konstitusi RI, 2014)
Artikel Ilmiah/Internet :
            Isra, Saldi, Tirani Ambang Batas Presiden, Kementrian Hukum Dan HAM RI (Pusat Pembinaan Hukum Nasional, (Pusat Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hokum Nasional)
Agus Riwanto, Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu Disharmoni, disampaikan setelah menjalani sidang senat terbuka ujian doctor di gedung rektoran http://www.UNS.ac.id, pada pukul 23.00, Rabu (10/10/2012)
Undang-Undang :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
            Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008
Putusan KPU nomor 411/KPTS/KPU/tahun 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam pemilu tahun 2014


[1] UUD 1945 adalah konstitusi negara indonesia yang merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara di indonesia.
[2] Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983. hlm. 328
[3] Lihat pendapat Sri Soemantri Martosoewignjo dalam bukunya, Sodikin, HUKUM PEMILU: Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, Bekasi, Gramata Publishing, 2014, hlm. 10
[4] Lihat lebih lengkap UUD 1945 pasal 22E ayat (3)
[5] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
[6]Sodikin, Op.cit, hlm. 170.  
[7] Agus Riwanto, Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu Disharmoni, disampaikan setelah menjalani sidang senat terbuka ujian doctor di gedung rektoran UNS, pada Rabu (10/10/2012)
[8] Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta:Djambatan, 2001). hlm.23
[9]Lihat keputusan KPU nomor 411/KPTS/KPU/tahun 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam pemilu tahun 2014.
[10] Sodikin, Op.cit, hlm. 143
[11]Waluyadi,Op.cit, hlm.23
[12] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
[13]Lihat keputusan KPU nomor 411/KPTS/KPU/tahun 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam pemilu tahun 2014.