Kamis, 30 Juni 2016

Pemuda dan Remaja Masjid Mangindara menyelenggarakan FESTIVAL ANAK SOLEH 2016

[ Oleh: Sirajuddin Raju, S.H. ]


Foto Bersama Panitia, Bapak Camat Gal-sel dan para pemenag FAS 2016
 KEGIATAN FESTIVAL ANAK SOLEH 2016 SE-KECAMATAN GALESONG SELATAN , Yang dilakasanakan mulai tanggal 17 juni 2016 yang dihadiri dan dibuka langsung oleh Bupati Takalar Bapak DR.H. Burhanuddin Baharuddin, S.E.,Ak.,M.Si dan  alhamdulillah selesai melakukan penutupan acara kegiatan sekaligus penyerahan hadia pada hari kamis 30 juni 2016.
Kegiatan Festival Anak Soleh 2016 ini adalah murni gagasan Pemuda dan Remaja Masjid di Desa Mangindara dalam rangka menyambut dan memeriahkan bulan suci ramdhan tahun ini dengan latar belakang pemikiran bahwa, Salah satu cita-cita dan tujuan mulia negara republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan hal tersebut maka pemerintah melalui program-programnya terus berupaya untuk mempersiapkan “GENERASI EMAS PADA TAHUN 2045” demi peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Maka pemuda dan remaja masjid di desa mangindara sangat menyadari bahwa hal tersebut bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tugas kita bersama, sehingga kedepan kita dapat melahirkan kader ummat dan kader bangsa.

Kegiatan FAS 2016 ini meyelenggarakan 9 ketegori lomba mulai dari tingkat SD sampai SMA dianataranya: Lomba Adzan  ( Tingkat SD / Se-Usia ), Lomba Praktek Sholat  (Tingkat SD/ Se-Usia ), Lomba Hafalan Doa Harian (Tingkat SD/Se-Usia), Lomba Hafalan Surah-Surah Pendek : Kategori Tingkat SD/Se-Usia dan Kategori Tingkat SMP/Se-Usia), Lomba Ceramah: Katergori Tingkat SD/Se-Usia dan Kategori SMP Dan SMA /Se-Usia, Lomba Cerdas Cermat Agama Islam (Tingkat SMP/SMA/Se-Usia) dan Lomba Tadarus Al-Qur’an  (Tingkat  SMP/SMA/Se-Usia).

Adapun struktur kepanitian dari FAS 2016 semuanya adalah pemuda dan remaja masjid desa Mangindara yang terdiri dari pelajar SMP, SMA dan Mahasiswa. Tujuan kegiatan ini dilaksanakan yaitu : Mengaktualisasikan Prestasi & Kreatifitas dan bakat anak dan remaja, Mempererat hubungan silaturahmi antar Pemuda dan Remaja Se-Kecamatan Galesong Selatan, Memotivasi anak dan remaja dalam meningkatkan minat, bakat, dan prestasi, Menanamkan sikap kepedulian terhadap Masjid dan Meningkatkan motivasi dan kualitas SDM Kabupaten Takalar.
Kegaiatn FAS 2016 ini juga bekerja sama dengan media partner: Radio Harmoni Takalar 97.0 FM, Tribun Timur dan YAPIG Galesong.


Pemuda dan Remaja Masjid Desa Mangindara, Sukses Menyelenggarakan "FESTIVAL ANAK SOLEH 2016"

[Oleh : Sirajuddin Raju, S.H. ]

Foto Bersama Panitia, Bapak Camat Gal-sel dan para pemenag FAS 2016
            KEGIATAN FESTIVAL ANAK SOLEH 2016 SE-KECAMATAN GALESONG SELATAN , Yang dilakasanakan mulai tanggal 17 juni 2016 yang dihadiri dan dibuka langsung oleh Bupati Takalar Bapak DR.H. Burhanuddin Baharuddin, S.E.,Ak.,M.Si dan  alhamdulillah selesai melakukan penutupan acara kegiatan sekaligus penyerahan hadia pada hari kamis 30 juni 2016.
              Kegiatan Festival Anak Soleh 2016 ini adalah murni gagasan Pemuda dan Remaja Masjid di Desa Mangindara dalam rangka menyambut dan memeriahkan bulan suci ramdhan tahun ini dengan latar belakang pemikiran bahwa, Salah satu cita-cita dan tujuan mulia negara republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan hal tersebut maka pemerintah melalui program-programnya terus berupaya untuk mempersiapkan “GENERASI EMAS PADA TAHUN 2045” demi peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Maka pemuda dan remaja masjid di desa mangindara sangat menyadari bahwa hal tersebut bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tugas kita bersama, sehingga kedepan kita dapat melahirkan kader ummat dan kader bangsa.
Kegiatan FAS 2016 ini meyelenggarakan 9 ketegori lomba mulai dari tingkat SD sampai SMA dianataranya: Lomba Adzan  ( Tingkat SD / Se-Usia ), Lomba Praktek Sholat  (Tingkat SD/ Se-Usia ), Lomba Hafalan Doa Harian (Tingkat SD/Se-Usia), Lomba Hafalan Surah-Surah Pendek : Kategori Tingkat SD/Se-Usia dan Kategori Tingkat SMP/Se-Usia), Lomba Ceramah: Katergori Tingkat SD/Se-Usia dan Kategori SMP Dan SMA /Se-Usia, Lomba Cerdas Cermat Agama Islam (Tingkat SMP/SMA/Se-Usia) dan Lomba Tadarus Al-Qur’an  (Tingkat  SMP/SMA/Se-Usia).
Adapun struktur kepanitian dari FAS 2016 semuanya adalah pemuda dan remaja masjid desa Mangindara yang terdiri dari pelajar SMP, SMA dan Mahasiswa. Tujuan kegiatan ini dilaksanakan yaitu : Mengaktualisasikan Prestasi & Kreatifitas dan bakat anak dan remaja, Mempererat hubungan silaturahmi antar Pemuda dan Remaja Se-Kecamatan Galesong Selatan, Memotivasi anak dan remaja dalam meningkatkan minat, bakat, dan prestasi, Menanamkan sikap kepedulian terhadap Masjid dan Meningkatkan motivasi dan kualitas SDM Kabupaten Takalar.
Kegaiatn FAS 2016 ini juga bekerja sama dengan media partner: Radio Harmoni Takalar 97.0 FM, Tribun Timur dan YAPIG Galesong.


Senin, 27 Juni 2016

Budaya Hukum Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara

[Oleh: Sirajuddin Raju, S.H.]
*Tulisan ini di buat ketika masih mahasiswa
BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah

Dalam UUD 1945 pada pasal 1 Ayat (3) mengatakan: Indonesia adalah negara hukum, Secara teoritis dalam konsepsi Negara  Hukum adalah  negara berlandaskan  atas  hukum  dan  keadilan bagi warganya, dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku  dan  perbuatan  baik  dilakukan  oleh  para  penguasa  atau  aparatur  negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas hukum[1]. Indonesia yang merupakan negara hukum sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam konstitusi membuat kita melihat bahwa seharusnya kita sebagai warga negara berbudaya hukum.

Namun apabila kita melihat kenyataan yang terjadi dimasyarakat budaya hukum yang di idamkan ternyata masih jauh dari apa yang diharapkan melihat kurangnya kesadaran masyarakat terkait dengan hukum itu sendiri, ini bisa kita dimana masyarakat masih condong  untuk melakukan pelanggaran hukum dengan sengaja, selain itu masyarakat masih tidak suka menyelesaikan perkara atau membawah kasus yang dihadapinya kepengadilan karena hal itu hanya akan menamba kerugian melalui pengutan-pengutan yang tidak jelas, bahkan pemerasa-pemerasan. Masyarakat tidak suka berperkara dipengadilan bukan karena adanya kesadaran budaya bahwa diselesaikan secara kekeluargaan diluar pengadilan jauh lebih baik, melainkan karena mereka tak  percaya pada proses penegakan hukum dan para penegak hukumnya.[2]

Bahkan masyarakat juga menjadi alergi dan takut untuk berhubungan dengan penegak hukum seperti: polisi, jaksa, pengacara dan hakim meskipun mengahadapi kasus yang seharusnya dapat diselesaikan secara hukum. Menyelesaikan secara damai diluar pengadilan memang sangat dianjurkan karena lebih baik daripada berperkara dipnegadilan. Tetapi hal itu akan menajadi betul-betul baik jika dilakukan karena kesadaran. Dalam hal penghindaran untuk berperkara dipengadilan itu, yang terjadi didalam masyarakat bukan karena budaya hukum yang berkembang baik, tetapi karena tidak percayanya msyarakat kepada lembaga peradilan yang sering diidentikkan dengan “tempat jual-beli keadilan”.[3]

Melihat kenyataan yang terjadi dimasyarakat tersebut tentu ini sangat bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri, dimana tujuan hukum pada hakikatnya adalah untuk  keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Bahkan para ahli hukum dan filosof seperti Aristoteles mengatakan bahwa yang menjadi tujuan dari hukum adalah dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat (manusia) dan Prof. Van Apeldoorn  menyatakan bahwa yang menjadi tujuan hukum adalah menagatur pergaulan manusia supaya damai.[4] Melihat tujuan hukum tersebut bahwa pada hakikatnya tujuan hukum adalah sesuatu hal yang sangat mulia, apabila hal tersebut kita implemntasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tentu suatu hal yang sangat baik karena hal tersebut sejalan dengan tujuan dan cita-cita bangsa indonesia dalam konstitusi.

Oleh karena itu haruslah kita memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat sehingga terwujud budaya hukum atau kesadaran hukum. Berangkat dari hal tersebut maka penyusun ingin menggali dan menganalisis lebih dalam tentang budaya hukum itu sendiri utamanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B.       Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Sejauhmanakah pentingnya budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. ?

2.      Bagaimanakah cara menanamkan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.?

C.      Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dilakukannya penulisan ini adalah sebagai berikut:

1.    Untuk mengetahui pentingnya budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2.    Untuk mengetahui cara menanamkan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


D.      Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dilakukannya penulisan ini adalah sebagai berikut:

1.      Sejauhmanakah pentingnya budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2.      Bagaimanakah cara menanamkan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


E.     Metodologi Penelitian

Data yang  digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah data sekunder. Data tersebut merupakan data yang diperoleh dari berbagai sumber, studi buku-buku literatur, data lain dan dari berbagai literatur   di internet yang dapat mendukung atau menjawab masalah yang telah dirumuskan. Kemudian melakukan pendekatan analisis deskriptif. Penelitian deskriptif memiliki sifat tertentu, yaitu bahwa penelitian itu memusatkan diri pada pemecahan masalah- masalah yang ada pada masa sekarang dan aktual. Kemudian data tersebut disusun, dianalisis, dipaparkan, dan di interpretasikan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.      Pengertian Budaya Hukum.

1.      Menurut Taylor (dalam buku Communicating Between Cultures)[5]

Taylor pada tahun 1871, mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks yang memuat pengetahuan kepercayaan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan segala kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2.      Clyde Kluckhohn[6]

Dia mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan hidup suatu masyarakat sebagai warisan sosial yang diperoleh para individu dari kelompoknya. Dalam penegrtian yang lebih funsional, kebudayaan merupakan desain untuk hidup dalam arti suatu perencanaan dan, sesuai dengan perencanaan itu, masyarakat kemudian mengadaptasikan dirinya pada lingukungan fisik, sosial dan ide.[7]

3.      Sastrapratedja[8]

Mengatakan bahwa kebudayaan bukan hanya merupakan cerminan infrastruktur melainkan juga merupakan totalitas objek (kebudayaan material) dan totalitas makna (kebudayaan intelektual) yang didukung oleh subjek (individu, kelompok, sektor-sektor masyarakat atau bangsa) yang keseluruhannya, minimal dapat dibedakan dalam 3 lapis.

1)   Alat-alat yakni segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, termasuk segala bentuk teknologi dari yang sederhana sampai yang canggih dan ilmu pengetahuan. Dalamlapis pertama ini, kebudyaan bersifat kumulatif dan dapat dialihkan dari suatu masyarakat kemasyarakat lain dengan cara yang relatif mudah.

2)   Etos masyarakat yakni kompleks kebiasaan dan sikap-sikap manusiaterhadap waktu, alam dan kerja. 

3)   Inti atau hati kebudayaan yakni pemahaman diri masyarakat meliputi cara masyarakat memahami, sejarah dan tujuan-tujuannya.

B.       Pengertian Masyarakat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suattu kebudayaan yang mereka anggap sama. Sedangkan bermasyarakat merupakan masyarakat atau mahluk yang bersekutu yang hidup secara rukun.[9]


C.      Pengertian Negara[10]

1.      Menurut George Jellineck

Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman yang tertentu.

2.      Menurut Hans Kelsen

Negara adalah suatu tertib hukum. Yang timbul karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang menetukan bagaimana orang didalam masyarakat atau negara itu bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa budaya hukum adalah sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum seperti kepercayaan, nilai, ide dan harapan-harapan, ia juga sering diartikan sebagai sistuasi pemikiran sosial dan kekuatan sosial dan kekuatan sosial yang menetukan bagaimana hukum itu dituruti, dilanggar, dan disimpangi didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB III

PEMBAHASAN

A.      Pentingnya Budaya Hukum Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.

Pada era reformasi dan globalisasi ini, pembangunan budaya hukum menjadi sangat penting karena dizaman moderenisasi saat ini seakan semuanya serba mudah karena didukung oleh teknologi yang canggih bahkan kejahatanpun bisa dilakukan dengan mudah, perkembangan tersebut tentu akan berakibat juga terhadap berbagai sendi kehidupan baik itu hukum, politik, ekonomi maupun sosial dan budaya oleh setiap negara termasuk indonesia.

Di indonesia sendiri sudah mulai terasa budaya hukum masyarakat kita sudah mulai terikis oleh kejamnya zaman, ini bisa kita lihat dimasyarakat banyak terjadi konflik horizontal, pelanggaran HAM, narkotika, pelecehan seksual, kekrasan terhadap anak, KKN(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) bukan hanya melibatkan masyarakat biasa tetapi bahkan pejabat nagara, khususnya mengenai korupsi. Belum lagi ditambah dengan proses penegakan hukum yang tumpul kebawah serta kisru institusi penegak hukum yang seharusnya menegakkan keadilan justru saling menjatuhkan, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum kita. Bahkan banyak orang yang berpendapat bahwa pembangunan supremasi hukum akan sulit dilakukan karena budaya hukum masyarakat indonesia adalah budaya hukum patrimonial yang korup, pesimisme ini muncul karena budaya biasanya diwarisi dan dihayati oleh masyarakat dari nenek moyang sejak waktu yang sangat lama dan karenanya sulit untuk diubah.

Namun dalam kenyataan historis tampak juga bahwa tidaklah benar kalau dikatakan bahwa masyarakat indonesia terjangkit budaya korupsi yang tak bisa diubah. Sebab, dalam kenyataannya, budaya hukum di negeri ini pernah tumbuh dan berkembang baik pada era tahun1950-an. Sebastian Pompe, penulis buku indonesia supreme court, bahkan mengatakan bahwa nonsense kalau dikatakan bahwa budaya hukum indonesia sadalah korupsi sebab, dalam hasil penelitiannya, judicial corruption di Indonesia baru dimulai sekitar tahu 1974.

Sesuai teori yang dikemukakan oleh friedmann  ada 3 aspek yang harus disentuh secara simultan ketika hukum hendak ingin dibangun, yakni[11]:

1.        Substance (isi), berupa norma-norma hukum yang digunakan oleh para penegak hukum maupun mereka yang diatur;

2.        Structure (Aparat), yaitu berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri seperti : pengadilan negeri, pengadilan administrasi, dan sebagainya;

3.        Culture ( budaya). Yaitu Kultur hukum berupa ide, sikap, harapan, dan pendapat tentang hukum yang secara keseluruhan mempengaruhi seseorang untuk patuh atau tidak patuh terhadap hukum.

Hukum sebenarnya memiliki hubungan yang timbal balik dengan masyarakatnya, dimana hukum itu merupakan sarana/alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja di dalam masyarakat itu sendiri sedangkan masyarakat dapat menjadi penghambat maupun menjadi sarana/alat sosial yang memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya[12]. Oleh karena itu tanpa budaya hukum suatu sitem hukum tidak akan berdaya. Dapat juga dikemukakan bahwa budaya hukum itu merupakan bagian dari suatu sistem hukum yang juga memiliki dua bagian yang lain, yakni struktur, substansi dan budaya hukum. Ketiga hal tersebut merupakan subsistem dari sistem hukum yang saling berkaitan sehingga jika budaya hukum tidak ada maka sistem itu akan lumpuh.Dari uraian diatas maka jelas bahwa budaya hukum dalam kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara sangatlah penting apalagi negara kita adalah negara hukum, diamana seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan akan hukum.

B.     Cara Menanamkan Budaya Hukum Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa Dan Bernegara

Mengingat akan arti pentingnya budaya hukum maka perlu menjadi perhatian pemerintah dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat agar benar-benar tercipta suatu budaya hukum atau kesadaran hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun tak bisa dipungkiri budaya hukum di indonesia mengalami sebuah kemunduran bahkan sangat terpuruk. Oleh karena untuk memulihkan kembali dan meningkatkan budaya hukum masyarakat secara terus-menerus perlu dilakukan langkah-langkah konkrit yang dapat diwujudkan dengan cara-cara sebagai berikut:
1.        Melalui Pendidikan.

Apabila kita melihat tujuan negara republik indonesia sebagaimana yang dituangkan dalam konstitusi pada kalimat yaitu “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketrtiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi, dan keadilan soisal” disini jelas memiliki hubungan erat dengan pendidikan. Dimana kita dapat menanamkan budaya hukum melalui pendidikan formal sejak dini, mulai dari TK, SD, SMP, SMA bahkan ditingkat perguruan tinggi. Agar budaya hukum sudah tertanam sejak dini sehingga dengan melaui cara budaya hukum benar-benar terwujud.
2.        Sosialisasi dan Penyuluhan Hukum.
Masih banyaknya masyarakat yang kurang paham akan hukum utamanya wilaya-wilaya pedalaman di Indonesia, sehingga sangat perlu diadakan Sosialisasi dan penyuluhan hukum. Tentu dengan harapan masyarakat akan lebih tahun akan hukum sehingga hal dapat membuat masyarakat akan arti pentingnya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
3.        Keteladanan

Keteladanan adalah hal yang sangat penting karena apa arti sebuah pemehaman hukum tanpa dibarengi dengan nilai-nilai ketekadanan, nilai-nilai keteladanan inilah yang akan menjadi cerminan kepada orang lain khususnya generasi mudah, agar nantinya benar-benar tercipta keasadaran hukum sesuai dengan cita-cita hukum itu sendiri.

4.      Memperbaiki Penegakan Hukum
Tercoreng institsusi-institusi atau para aparat penegak hukum di indonesia saat ini membuat masyarakat menimbulkan ketidak percayaan kepada para penegak hukum, sehingga perlu ditingkatkannya integritasnya didalam menegakkan hukum, hal tersebut diharapakan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum.

Dengan dilaksanakannya cara-cara di atas maka diharapakan pembangunan dan pengembangan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga dapat tercipta ketentraman, serta ketertiban dan tegaknya hukum yang berintikan kejujuran, kebenaran dan keadilan untuk mewujudkan kepastian hukum demi terwujudnya cita-cita hukum yang sesungguhnya.


BAB IV

PENUTUP

A.      Kesimpulan

       Berdasarkan uraian-diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara sangatlah penting untuk mencapai cita-cita hukum dan cita-cita bangsa indonesia sebagaimana yang dituangkan dalam konstitusi. Dan untuk mengembangkan dan meningkat budaya hukum di Indonesia maka dapat dilakukan dengan cara melalui pendidikan, penyuluhan, sosialisasi, keteladanan dan penegakan hukum yang berintegritas.

B.     Saran/Rekomendasi.

       Berdasarkan atas pertimbangan-pertibangan diatas maka penyusun merekomendasikan/saran agar pemerintah bekerja sama dengan seluruh komponen masyarakat dalam mewujudkan indonesia yang berbudaya hukum dengan cara melalui pendidikan, penyuluhan, sosialisasi, keteladanan dan penegakan hukum yang berintegritas. Dengan melakasanakan cara-cara tersebut secara berkesinambungan dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Aziz Hakim ,Abdullah, 2012.Negara Hukum dan Demokrasi Indonesi,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, ), hlm.8.


Mahfud Md,Moh. 2011. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. (Jakarta:PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2, ). hlm.217

Waluyadi,2001.Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta:Djambatan, ). hlm.44

Joseph F. Eilers, 1987. Communicating Between Cultures (Roma: Gregogianas University),hlm.16

.

M. Sastrapratedja, 1992.Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan budaya” Dalam Oetejo Oesman dan Alfian, pancasila sebagai ideologi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. (Jakarta:BP7 Pusat, ), hlm.145-146.

Astawa, I Gde Pantja dan Na’a Suprin, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012) hlm.3.

Undang-undang:


            Undang-undang Dasar 1945( konstitusi indonesia.


Internet:

_______Junaidi Maulana, Budaya hukum dan pnegakan hukum, http://junaidimaulana .blogspot.com /2013/02/budaya-hukum-dan-penegakan-hukum_ 23. html,  diakses  19 april 2015,  pukul.16:46

______Budaya Hukumhttp://www.tenagasosial.com/2013/08/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses, 19 /april 2015, pukul 16:41

_____KBBI (Kamus Besar bahasa Indonesia).Web.id/masyarakat.




[1]Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi Indonesi,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012), hlm.8.
[2] Moh. Mahfud Md, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. (Jakarta:PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2, 2011). hlm.217
[3] Moh. Mahfud Md, Ibid.hlm.218
[4]Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta:Djambatan, 2001). hlm.44
[5] Joseph F. Eilers, Communicating Between Cultures (Roma: Gregogianas University, 1987),hlm.16
[6] Ibid, hlm.16
.
[8]M. Sastrapratedja, Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan budaya” Dalam Oetejo Oesman dan Alfian, pancasila sebagai ideologi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara (Jakarta:BP7 Pusat, 1992), hlm.145-146.
[9] KBBI.Web.id/masyarakat.
[10] Astawa, I Gde Pantja dan Na’a Suprin, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012) hlm.3.
[11] Moh. Mahfud Md, Op.Cit. hlm.206
[12]Junaidi Maulana, Budaya hukum dan pnegakan hukum, http://junaidimaulana .blogspot.com /2013/02/budaya-hukum-dan-penegakan-hukum_ 23. html,  diakses  19 april 2015,  pukul.16:46

Artikel Ilmiah Sistem Lelang Jabatan

"PRO  KONTRA Terhadap Sistem Lelang Jabatan"

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Tujuan Negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945[1]melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah mudah karena membutuhkan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik itu pemerintah, pemuka agama, maupun tokoh masyarakat sendiri. Yang memiliki tanggung jawab paling besar untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara adalah pemerintah. Untuk menjalankan pemerintahan tentu dibutuhkan orang-orang yang berkompeten untuk membantu pemerintah dalam pelayanan-pelayanan public agar pelayanan tersebut benar-benar sampai kepada masyarakat dan dapat terlaksana dengan baik sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Namun orang-orang yang dalam menjalankan proses pelayanan publik tersebut seringkali tidak sesuai dengan birokrasi yang ada, dikarenakan sikap pimpinan yang memilih pejabat atas dasar suka atau tidak suka sehingga para pejabat mendapatkan jabatan yang tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki yang membawa dampak buruk terhadap pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang tepat agar dapat memberikan pelayanan pubik yang optimal.

Sistem lelang jabatan merupakan pilihan atau cara alternatif dalam memilih pejabat yang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, namun munculnya wacana tentang sistem lelang jabatan ini ternyata terjadi polemik di masyarakat. Ada yang pro terhadap sistem lelang jabatan karena memiliki maksud dan tujuan yang mulia, dan ada pula yang kontra karena ketidakjelasan efektivitas dari proses lelang jabatan ini.

Berangkat dari hal tersebut maka kami selaku penyusun artikel ini ingin menganalisis lebih dalam dimana letak perbedaan sudut pandang serta alasan-alasannya baik dari persektif pro maupun kontra, dan apakah memang sistem lelang jabatan ini sesuai dengan UUD 1945 ataukah sebaliknya sistem ini tidak sejalan dengan UUD 1945 sehingga tidak perlu untuk dilaksanakan.
B.     Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Bagaimanakah analisis dari perspektif PRO terhadap Sistem Lelang Jabatan?

2.      Bagaimanakah analisis dari perspektif KONTRA terhadap Sistem Lelang Jabatan?

 
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Analisis Dari Perspektif PRO Terhadap Sistem Lelang Jabatan

Untuk pembahasan kali ini akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatif dan empiris-sosiologis kenapa PRO terhadap topik ini:

1.        Kajian teoritis-filosofis

Secara teoritis Aristoteles mengatakan bahwa  salah satu konsepsi negara hukum adalah adanya keadilan kepada warga negaranya, apabila keadilan telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara hukum” karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan. Dalam negara seperti ini keadilanlah yang memerintah dan harus terjelma di dalam negara, dan hukum berfungsi memberi kepada setiap apa yang sebenarnya berhak ia terima.[2]

Ilmu hukum tidak hanya dilihat dari segi sumber hukum formal tetapi juga hukum materil, secara filosofi pancasila adalah sumber hukum dalam arti secara materil yang tidak saja menjiwai, tetapi harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan  hukum di indonesia.[3] oleh karena itu hukum di indonesia haruslah berdasar pada pancasila yang juga merupakan dasar dan ideologi negara sekaligus Modus vivendi (kesepakatan leluhur) bangsa indonesia yang sulit atau (mungkin) tidak bisa digantikan.[4] Hal ini sejalan dengan pancasila sila ke-5 yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, yang selanjutnya dijabarkan dalam butir ke-2 pedoman pengamalan pancasila berdasarkan Tap MPR No.I/MPR/2003, yang berbunyi “mengembangkan sikap adil terhadap sesama.”

Jika dilihat dalam konsideran Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada huruf (a) berbunyi, menimbang bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ini juga sejalan dengan sistem lelang jabatan dan pancasila sebagai dasar Negara.

Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa Sistem Lelang Jabatan sesuai dengan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara maupun pancasila. Oleh karena itu, ditinjau dari kajian teoritis filosofis Sistem Lelang Jabatan ini perlu untuk dilaksanakan.
2.      Kajian Yuridis-Normatif

Secara yuridis normatif atau dilihat dari perspektif sumber hukum formal,[5] topik pembahasan tentang sistem lelang jabatan memiliki keterkaitan secara konstitusional dengan HAM yang telah tertuang di dalam UUD 1945[6] pada pasal 27 ayat (1), (2), dan (3). Ayat (1) yang berbunyi :

1)      “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,

2)      “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”,

3)      “setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara”,pasal 28C ayat (2) yang berbunyi “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”, pasal 28D ayat (3) yaitu “setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”, dan pasal 28I ayat (2) yang menyatakan “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Hal tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 16 “setiap jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan”. Hal ini juga dilandasi dengan UU Nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok kepegawaian pada pasal 17 ayat (2) :

“pengangkatan pegawai negeri sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, atau golongan.

Uraian di atas baik dilihat dari UUD 1945, UU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), maupun UU tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, maka sudah sangat jelas bahwa setiap orang atau setiap warga Negara terutama warga Indonesia mempunyai hak kolektif, hak untuk menunjukkan kemampuan dan profesionalitas salah satunya juga berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dalam sistem lelang jabatan ini agar dapat membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya tanpa harus bersifat diskriminatif atau membeda-bedakan suku, budaya, ras, kedudukan sosial, maupun agama yang dimilikinya. Hal ini tentu saja sejalan dengan terobosan baru mengenai sitem lelang jabatan atau promosi jabatan yang dilakukan pemerintah untuk mengisi jabatan struktural, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.

 

3.      Kajian Empiris-Sosiologis

Bila kita melihat fakta di lapangan, ternyata sistem lelang jabatan ini sudah dilakukan. Menurut Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta[7], ada 75 calon yang mendaftar untuk menjadi camat, sementara sisanya 151 orang mendaftar sebagai lurah. Adapun sebanyak 74.283 PNS mengikuti sistem seleksi dan promosi jabatan atau yang dikenal lelang jabatan sebab memenuhi syarat untuk mengikuti proses seleksi. Hal ini juga dapat dilihat pada lurah Susan Jasmine Zulkifli yang terpilih sebagai lurah di kelurahan Lenteng Agung.

Menganalisis fakta yang kemudian diperkuat dengan data dari BKD DKI Jakarta di atas maka dapat dipahami pengaruh positif dari lelang jabatan antara lain, adanya fit and proper test, terlihat bagaimana track record kinerja pejabat tersebut, menghindari pengisian jabatan yang merupakan “pesenan” dari pihak lain yang memiliki kepentingan dalam hal tugas dan wewenang dari jabatan tersebut, memberikan peluang yang sama bagi PNS yang berkarier berdasarkan kinerja dan prestasi kerjanya, dan bentuk keterbukaan birokrasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat akan lebih percaya kepada pemerintahan, sehingga gol “good governance” akan tercipta.

 

B.     Analisis Dari Perspektif KONTRA Terhadap Sistem Lelang Jabatan

Untuk pembahasan kali ini juga akan dianalisis melalaui kajian teoritis-filosofis, yuridis-normatif dan empiris-sosiologis kenapa kontra terhadap topik ini:

1.      Kajian Teoritis –Filosofis

Secara teoritis Aristoteles mengatakan bahwa  salah satu konsepsi negara hukum adalah adanya keadilan kepada warga negaranya, apabila keadilan telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara hukum” karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan. Dalam negara seperti ini keadilanlah yang memerintah dan harus terjelma di dalam negara, dan hukum berfungsi memberi kepada setiap apa yang sebenarnya berhak ia terima.

Ilmu hukum tidak hanya dilihat dari segi sumber hukum formal tetapi juga hukum materil, secara filosofi pancasila adalah sumber hukum dalam arti secara materil yang tidak saja menjiwai, tetapi harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan  hukum di indonesia.[8] oleh karena itu hukum di indonesia haruslah berdasar pada pancasila yang juga merupakan dasar dan ideologi negara sekaligus Modus vivendi (kesepakatan leluhur) bangsa indonesia yang sulit atau (mungkin) tidak bisa digantikan.[9]

Hal ini sejalan dengan pancasila sila ke-5 yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”, yang selanjutnya dijabarkan dalam butir ke-2 pedoman pengamalan pancasila berdasarkan Tap MPR No.I/MPR/2003 yang berbunyi “mengembangkan sikap adil terhadap sesama.” Hal ini ditegaskan oleh salah satu pemikiran filosofis presiden Soekarno yaitu “keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan”. Jika keadilan ini dijalankan tentunya akan senada dengan pancasila sila ke-3 yaitu persatuan Indonesia.

Dari uraian di atas jika dikaitkan dengan sistem lelang jabatan, dapat dilihat bahwa disini keadilan mungkin adil bagi para pemeritah yang membuat kebijakan ini, namun belum tentu adil bagi para PNS yang akan mengikuti proses-proses tersebut, dikarenakan sistem lelang jabatan terbuka secara umum bagi PNS namun tidak adil bagi orang yang sudah lama berkecimpung di bidang tertentu dalam birokrasi yang sudah paham akan sistem tersebut dibandingkan dengan orang yang terpilih tetapi belum punya keahlian atau pengalaman dalam sistem birokrasi tersebut walaupun kita tidak bias menfikkan bidang keahliannya.
2. Kajian Yuridis-Normatif

Secara yuridis normatif atau dilihat dari perspektif sumber hukum formal,[10] topik pembahasan tentang sistem lelang jabatan memiliki keterkaitan secara konstitusional dengan HAM yang telah tertuang di dalam UUD 1945[11] pada pasal 28C ayat (2) yaitu :

“setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”,

 pasal 28D ayat (2) yang berbunyi :

“setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Dari uraian di atas dan terkait dengan lelang jabatan justru seharusnya orang-orang yang sudah lama pada sistem birokrasilah yang harus diprioritaskan dan dimajukan agar lebih meningkatkan kemampuan dalam bidangnya, dikarenakan juga sudah memiliki hubungan kerja dalam system birokrasi tersebut dan sudah mendalami bidang yang ditekuninya. Sehingga sangat tidak adil ketika sistem lelang jabatan dibuka, dan yang lolos adalah orang yang baru pernah masuk pada sistem birokrasi tersebut, walaupun kita tidak bias menafikkan keahliannya.

3. Kajian Empiris-Sosiologis
Bila kita melihat fakta di lapangan, ternyata sistem lelang jabatan ini sudah dilakukan. Menurut Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta[12], ada 75 calon yang mendaftar untuk menjadi camat, sementara sisanya 151 orang mendaftar sebagai lurah. Adapun sebanyak 74.283 PNS mengikuti sistem seleksi dan promosi jabatan atau yang dikenal lelang jabatan sebab memenuhi syarat untuk mengikuti proses seleksi.

Menganalisis fakta yang kemudian diperkuat dengan data dari BKD DKI Jakarta, diatas maka sistem lelang jabatan tidak dibuka secara umum, seharusnya dibatasi hanya pada fokus kepada orang-orang yang memang sudah lama dalam birokrasi, karena sudah lama berkecimpun dalam dengan birokras tersebut, maka lebih mudah dia akan memahami kekurang-kekurangan pemimpin sebelumnya, dan ketika dia terpilh mendapatkan jabatan yang lebih tinggi maka bisa membangun lebih baik.
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan.

Setelah melihat analisis dari persektif pro maupun kontra terhadap sistem lelang jabatan dengan masing-masing menggunakan pendekatan kajian teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis maka kami menarik kesimpulan bahwa polemik pro maupun kontra terkait dengan topik ini ternyata hanya terletak pada sudut pandang yang berbeda dalam menginterpretasikan atau menafsirkan pendekatan yang dipakai baik melalui kajian teoritis-filosofis, kajian yuridis-normatif dan empiris-sosiologis namun pada hakikatnya memiliki maksud dan tujuan yang sama untuk menghasilkan pejabat yang mampu bekerja keras dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Oleh karena itu kami merekomendasikan yaitu:

1. Keterbukaan promosi jabatan

Dalam konteks ini, bahwa sudah selayaknya promosi jabatan dilakukan secara terbuka tanpa adanya diskriminasi dengan melihat keahlian di bidang dan pengetahuan serta pengalamannya dalam system dimana seseorang akan ditempatkan.

2.      Mempertegas dasar hukum

Dalam konteks ini, segala sesuatu terkait dengan promosi jabatan atau lelang jabatan harus dibuat regulasi yang jelas agar terwujudnya tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum dalam pengisian posisi penting tersbut.

3.      Membentuk Panitia khusus dalam proses seleksi.

Panitia khusus ini dibentuk untuk memberikan kejelasan dalam proses tahapan-tahapan seleksi dengan menempatkan orang-orang yang ahli dan sudah berpengalaman.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Asshiddiqie, Jimly., pengantar ilmu hukm tata negara.(Jakarta: PT. RAJAGARFINDO   PERASADA,2013).
Kusnardi, Moh. Dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet-kelima. Jakarta: Pusat studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983.
Moh. Mahfud Md, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.(Jakarta: PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2, 2011).
Miriam budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustak utama,1992).
S.H, Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. (Jakarta: Djambatan,2001).
Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, dan tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Bangsa  dan Negara, (jakarta: Sekretariat  jenderal MPR RI,2012).
Tim Redaksi Pustaka Yustisia,Naskah Amandemen Lengkap UUD 1945.(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2013). Hlm. 21

Perundang-undangan:
________Pancasila
_______Undang-Undang Dasar 1945.
________ Undang-Undang Republik Indonesi Nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok kepegawaian
________ Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara(ASN

 Website/Internet:
_______website: Data pelaporan dari BKD DKI Jakarta


[1] UUD 1945 adalah konstitusi Negara indonesia yang merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan Negara di indonesia
[2] Moh. Kusnardi dan harmaily Ibrahim, 1988 : 153
[3] Jimly asshiddiqie, pengantar ilmu hukm tata negara.(Jakarta: PT. RAJAGARFINDO PERASADA,2013). hlm. 159.
[4]Moh. Mahfud Md, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.(Jakarta: PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2, 2011).hlm.5.
[5] Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif.(Jakarta:Djambatan, 2001)hlm.23
[6] Tim Redaksi Pustaka Yustisia,Op. Cit, Hlm. 21
[7] Data pelaporan dari BKD DKI Jakarta
[8] Jimly asshiddiqie, pengantar ilmu hukm tata negara.(Jakarta: PT. RAJAGARFINDO PERASADA,2013). hlm. 159.
[9]Moh. Mahfud Md, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.(Jakarta: PT. RajaGarfindo, cetakan Perasada. Cetakan ke-2, 2011).hlm.5.
[10]Waluyadi,Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif.(Jakarta: Djambatan ,2001)hlm.23
[11] Tim Redaksi Pustaka Yustisia,Naskah Amandemen Lengkap UUD 1945.(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2013). Hlm. 21
[12] Data pelaporan dari BKD DKI Jakarta